MAKALAH PENANGGULANGAN BENCANA
Kebakaran Hutan Di Kalimantan Tengah
Disusun oleh:
Madalena Frani Martins Gama Dias
23.1162
H2- Kebijakan Publik
INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
KAMPUS CILANDAK
Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar
Belakang
Indonesia merupakan salah satu
Negara tropis yang memiliki wilayah hutan terluas di dunia setelah Brazil dan
Zaire. Hal ini merupakan suatu kebanggaan bagi bangsa Indonesia, karena dilihat
dari manfaatnya sebagai paru-paru dunia, pengatur aliran air, pencegah erosi
dan banjir serta dapat menjaga kesuburan tanah. Selain itu, hutan
dapat memberikan manfaat ekonomis sebagai penyumbang devisa bagi
kelangsungan pembangunan di Indonesia. Karena itu pemanfaatan hutan dan
perlindungannya telah diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun
1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan Menteri
Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan. Hutan
yang seharusnya dijaga dan dimanfaatkan secara optimal dengan memperhatikan
aspek kelestarian kini telah mengalami degradasi dan deforestasi yang cukup
mencenangkan bagi dunia Internasional, faktanya Indonesia mendapatkan rekor
dunia guiness yang dirilis oleh Greenpeace sebagai negara yang mempunyai
tingkat laju deforestasi tahunan tercepat di dunia, Sebanyak 72 persen dari
hutan asli Indonesia telah musnah dengan 1.8 juta hektar hutan dirusakan per
tahun antara tahun 2000 hingga 2005, sebuah tingkat kerusakan hutan sebesar 2%
setiap tahunnya.
Masalah kebakaran hutan telah menjadi isu nasional
yang patut mendapat perhatian serius dari pemerintah. Kejadian ini terjadi
setiap tahun secara berulang, khususnya di di Pulau Kalimantan. Perlu dipahami
bahwa, instansi pemerintah dan masyarakat, termasuk petani,
perusahaan-perusahaan perkebunan dan HTI, merupakan mata rantai yang tidak
terputus yang terkait langsung dengan kebakaran hutan ini. Dampak kebakaran
hutan yang paling menonjol adalah terjadinya kabut asap yang merugikan
kesehatan masyarakat dan terganggunya sistem transportasi sungai, darat, laut,
dan udara serta mempengaruhi sendi-sendi perekonomian lainnya.
Hal ini dikarenakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan selama
ini tidak memperhatikan manfaat yang akan diperoleh dari keberadaan hutan tersebut,
sehingga kelestarian lingkungan hidup menjadi terganggu. Penyebab utama
kerusakan hutan adalah kebakaran hutan. Kebakaran hutan terjadi
karena manusia yang menggunakan api dalam upaya pembukaan hutan untuk Hutan
Tanaman Industri (HTI), perkebunan, dan pertanian. selain itu, kebakaran
didukung oleh pemanasan global, kemarau ekstrim yang seringkali dikaitkan
dengan pengaruh iklim yang memberikan kondisi ideal untuk terjadinya kebakaran
hutan.
Persepsi dan pendapat masyarakat yang berkembang
tentang peristiwa kebakaran yang sering terjadi belakangan ini adalah bahwa
kebakaran tersebut terjadinya di dalam hutan semata, padahal sesungguhnya
peristiwa tersebut dapat saja terjadi di luar kawasan hutan. Seharusnya
kebakaran hutan dan lahan dipandang sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan dalam sistem pengendaliannya. Kebakaran hutan di Indonesia pada saat
ini dapat dipandang sebagai peristiwa bencana regional dan global. Hal ini
disebabkan karena dampak dari kebakaran hutan sudah menjalar ke negara-negara
tetangga dan gas-gas hasil pembakaran yang diemisikan ke atmosfer (seperti CO2)
berpotensi menimbulkan pemanasan global. Kebakaran hutan di Indonesia tidak
hanya terjadi di lahan kering tetapi juga di lahan basah seperti lahan/hutan
gambut seperti halnya di Kalimantan tengah, terutama pada musim kemarau, dimana
lahan basah tersebut mengalami kekeringan. Pembukaan lahan gambut berskala
besar dengan membuat saluran/parit telah menambah resiko terjadinya kebakaran
di saat musim kemarau. Pembuatan saluran/ parit telah menyebabkan hilangnya air
tanah dalam gambut sehingga gambut mengalami kekeringan yang berlebihan di
musim kemarau dan mudah terbakar. Terjadinya gejala kering tak balik (irreversible
drying) dan gambut berubah sifat seperti arang menyebabkan gambut tidak
mampu lagi menyerap hara dan menahan air.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Pengertian dan manfaat hutan
2.
Kerusakan hutan dan penyebabnya terjadinya
kebakaran hutan
3.
Penyebab dan dampak kebakaran hutan
di Kalimantan Tengah
4.
Pencegahan dan penaggulangan
kebakaran hutan di Kalimantan Tengah
1.3
Tujuan
1.
Mengetahui
pengertian dan manfaat hutan di Indonesia
2.
Mengetahui
penyebab kerusakan hutan yang terjadi di Kalimantan Tengah
3.
Mengetahui
pengertian dan jenis-jenis kebakaran hutan
4.
Mengetahui
penyebab dan dampak kebakaran hutan
5.
Mengetahui
cara pencegahan dan penaggulangan kebakaran hutan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hutan
Hutan adalah
sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan
lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di wilayah-wilayah yang luas di
dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon
dioksida (carbon dioxide sink), habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta
pelestari tanah,
dan merupakan salah satu aspek biosfer Bumi yang paling penting.
Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar di seluruh dunia.
Kita dapat menemukan hutan baik di daerah tropis maupun
daerah beriklim dingin, di dataran rendah maupun di pegunungan,
di pulau kecil
maupun di benua
besar. Hutan merupakan suatu kumpulan tumbuhan dan juga tanaman, terutama
pepohonan atau tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup luas. Pohon sendiri adalah
tumbuhan cukup tinggi dengan masa hidup bertahun-tahun. Jadi, tentu berbeda
dengan sayur-sayuran atau padi-padian yang hidup semusim saja. Pohon
juga berbeda karena secara mencolok memiliki sebatang pokok tegak berkayu yang
cukup panjang dan bentuk tajuk (mahkota daun) yang jelas. Suatu kumpulan
pepohonan dianggap hutan jika mampu menciptakan iklim dan kondisi lingkungan
yang khas setempat, yang berbeda daripada daerah di luarnya. Jika kita berada
di hutan hujan tropis,
rasanya seperti masuk ke dalam ruang sauna yang hangat dan lembap, yang
berbeda daripada daerah perladangan sekitarnya. Pemandangannya pun berlainan.
Ini berarti segala tumbuhan lain dan hewan (hingga yang sekecil-kecilnya), serta
beraneka unsur tak hidup lain termasuk bagian-bagian penyusun yang tidak
terpisahkan dari hutan. Hutan sebagai suatu ekosistem tidak hanya menyimpan
sumberdaya alam berupa kayu, tetapi masih banyak potensi non kayu yang dapat
diambil manfaatnya oleh masyarakat melalui budidaya tanaman pertanian pada
lahan hutan. Sebagai fungsi ekosistem hutan sangat berperan dalam berbagai hal
seperti penyedia sumber air, penghasil oksigen, tempat hidup berjuta flora dan
fauna, dan peran penyeimbang lingkungan, serta mencegah timbulnya pemanasan
global. Sebagai fungsi penyedia air bagi kehidupan hutan merupakan salah satu
kawasan yang sangat penting, hal ini dikarenakan hutan adalah tempat
bertumbuhnya berjuta tanaman
Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, mendefinisikan
hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya
alam hayati yang didominasi jenis pepohonan dalam persekutuan dengan
lingkungannya, yang satu dengan lain tidak dapat dipisahkan. Hutan merupakan
suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang hidup dalam lapisan dan
permukaan tanah, yang terletak pada suatu kawasan dan membentuk suatu ekosistem
yang berada dalam keadaan keseimbangan dinamis.
2.2 Manfaat
Hutan
Sejak jaman nenek moyang manusia,
hutan telah dijadikan sebagai lahan untuk mencari nafkah hidup. Sejak itu pula
telah ada kearifan lokal manusia untuk melindungi dan melestarikan hutan dan
lingkungannya sehingga hutan tetap menjadi primadona penopang kehidupan mereka.
Hutan
diketahui memiliki manfaat yang langsung maupun tidak langsung bagi kehidupan
manusia, seperti yang dikemukakan sebagai berikut.
1.
Manfaat
langsung
a. Sumber
bahan/konstruksi bangunan (rumah, jembatan, kapal, perahu, bantalan kereta api,
tiang listrik, plywood, particle board, panel-panel dll).
b. Sumber
bahan pembuatan perabot rumah (meubel, ukiran, piring, senduk, mangkok dll).
c. Sumber
bahan pangan (sagu, umbian, sayuran, dll).
d. Sumber
protein (madu, daging, sarang burung, dll).
e. Sumber
pendukung fasilitas pendidikan (pinsil dan kertas).
f. Sumber
bahan bakar (kayu api, arang dll).
g. Sumber
oksigen (pernapasan manusia, respirasi hewan)
h. Sumber
pendapatan (penjualan hasil hutan kayu dan non kayu)
i. Sumber
obat-abatan (daun, kulit, getah, buah/biji)
j. Habitat
satwa (makan, minum, main, tidur)
2. Manfaat tidak langsung
a. Pengatur sistem tata air (debit air, erosi, banjir, kekeringan)
b. Kontrol pola iklim (suhu, kelembaban, penguapan)
c. Kontrol pemanasan bumi
d. Ekowisata (rekreasi, berburu, camping dll)
e. Laboratorium plasma nutfah (taman nasional, kebun raya dll)
f. Pusat pendidikan dan penelitian
g. Sumber bahan pendukung industri-industri kimia (pewarna, terpen, kosmetik, obat-obatan, tekstil dll).
h. Menghasilkan devisa lewat program CDM dan REDD.
a. Pengatur sistem tata air (debit air, erosi, banjir, kekeringan)
b. Kontrol pola iklim (suhu, kelembaban, penguapan)
c. Kontrol pemanasan bumi
d. Ekowisata (rekreasi, berburu, camping dll)
e. Laboratorium plasma nutfah (taman nasional, kebun raya dll)
f. Pusat pendidikan dan penelitian
g. Sumber bahan pendukung industri-industri kimia (pewarna, terpen, kosmetik, obat-obatan, tekstil dll).
h. Menghasilkan devisa lewat program CDM dan REDD.
Hutan
merupakan suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang hidup dalam lapisan
dan permukaan tanah, yang terletak pada suatu kawasan dan membentuk suatu
ekosistem yang berada dalam keadaan
keseimbangan dinamis. Dengan demikian berarti berkaitan dengan proses-proses
yang berhubungan yaitu:
1. Hidrologis,
artinya hutan merupakan gudang penyimpanan air dan tempat menyerapnya air hujan maupun embun yang pada akhirnya akan mengalirkannya ke sungai-sungai yang memiliki mata air di tengah-tengah hutan secara teratur menurut irama alam. Hutan juga berperan untuk melindungi tanah dari erosi dan daur unsur haranya.
artinya hutan merupakan gudang penyimpanan air dan tempat menyerapnya air hujan maupun embun yang pada akhirnya akan mengalirkannya ke sungai-sungai yang memiliki mata air di tengah-tengah hutan secara teratur menurut irama alam. Hutan juga berperan untuk melindungi tanah dari erosi dan daur unsur haranya.
2. Iklim,
artinya komponen ekosistern alam yang terdiri dari unsur-unsur hujan (air), sinar matahari (suhu), angin dan kelembaban yang sangat mempengaruhi kehidupan yang ada di permukaan bumi, terutama iklim makro maupun mikro.
artinya komponen ekosistern alam yang terdiri dari unsur-unsur hujan (air), sinar matahari (suhu), angin dan kelembaban yang sangat mempengaruhi kehidupan yang ada di permukaan bumi, terutama iklim makro maupun mikro.
3. Kesuburan
tanah.
artinya tanah hutan merupakan pembentuk humus utama
dan penyimpan unsur-unsur mineral bagi tumbuhan lain. Kesuburan tanah sangat
ditentukan oleh faktor-faktor seperti jenis batu induk yang membentuknya,
kondisi selama dalam proses pembentukan, tekstur dan struktur tanah yang
meliputi kelembaban, suhu dan air tanah, topografi wilayah, vegetasi dan jasad
jasad hidup. Faktor-faktor inilah yang kelak menyebabkan terbentuknya
bermacam-macam formasi hutan dan vegetasi hutan.
4. Keanekaragaman
genetic.
Artinya hutan memiliki kekayaan dari berbagai jenis
flora dan fauna. Apabila hutan tidak diperhatikan dalam pemanfaatan dan
kelangsungannya, tidaklah mustahil akan terjadi erosi genetik. Hal ini terjadi
karena hutan semakin berkurang habitatnya.
5. Sumber
daya alam.
Artinya
hutan mampu memberikan sumbangan hasil alam yang cukup besar bagi devisa
negara, terutama di bidang inciustri. Selain itu hutan juga memberikan fungsi
kepada masyarakat sekitar hutan sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Selain
kayu juga dihasilkan bahan lain seperti damar, kopal, gondorukem, terpentin,
kayu putih dan rotan serta tanaman obat-obatan.
6. Wilayah
wisata alam.
Artinya hutan mampu
berfungsi sebagai sumber inspirasi, nilai estetika, etika dan sebagainya.
Penyelenggaraan
kehutanan tersebut bertujuan untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan
berkelanjutan dengan:
- menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang
cukup dan sebaran yang proporsional;
- mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi
fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai
manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan
lestari;
- meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai;
- meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan
kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan
berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan
ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan
- menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan
dan berkelanjutan.
Sampai
saat ini manusia tergantung dari hutan bahkan semakin dirasakan manfaatnya
terutama, Hutan merupakan paru-paru dunia (planet bumi) sehingga perlu kita
jaga karena jika tidak maka hanya akan membawa dampak yang buruk bagi kita di
masa kini dan masa yang akan datang.
1. Manfaat/Fungsi Ekonomi
- Hasil hutan dapat dijual langsung atau diolah menjadi berbagai barang yang bernilai tinggi.
- Membuka lapangan pekerjaan bagi pembalak hutan legal.
- Menyumbang devisa negara dari hasil penjualan produk hasil hutan ke luar negeri.
1. Manfaat/Fungsi Ekonomi
- Hasil hutan dapat dijual langsung atau diolah menjadi berbagai barang yang bernilai tinggi.
- Membuka lapangan pekerjaan bagi pembalak hutan legal.
- Menyumbang devisa negara dari hasil penjualan produk hasil hutan ke luar negeri.
2. Manfaat/Fungsi Klimatologis
- Hutan dapat mengatur iklim
- Hutan berfungsi sebagai paru-paru dunia yang menghasilkan oksigen bagi kehidupan.
3. Manfaat/Fungsi Hidrolis
- Dapat menampung air hujan di dalam tanah
- Mencegah intrusi air laut yang asin
- Menjadi pengatur tata air tanah
4. Manfaat/Fungsi Ekologis
- Mencegah erosi dan banjir
- Menjaga dan mempertahankan kesuburan tanah
- sebagai wilayah untuk melestarikan kenaekaragaman hayati
2.3 Pengertian
dan Definisi Kebarakan Hutan
Kebakaran
hutan merupakan suatu faktor lingkungan dari api yang memberikan
pengaruh terhadap hutan, menimbulkan dampak negatif maupun positif. kebakaran
hutan yang terjadi adalah akibat ulah manusia maupun faktor alam. Penyebab
kebakaran hutan yang terbanyak karena tindakan dan kelalaian manusia. Ada yang
menyebutkan hampir 90% kebakaran hutan disebabkan oleh manusia sedangkan
hanya 10% yang disebabkan oleh alam. Pengertian dan definisi lain yang
diberikan untuk Kebakaran
Hutan adalah suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga berakibat timbulnya kerugian
ekosistem dan terancamnya kelestarian lingkungan. Upaya pencegahan Kebakaran Hutan
merupakan suatu usaha Perlindungan Hutan agar kebakaran hutan yang berdampak
negatif tidak meluas.
Menurut Kamus Kehutanan,
Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Kebakaran Hutan (Wild Fire Free
Burning, Forest Fire) didefinisikan sebagai :
- Kebakaran yang tidak disebabkan oleh unsur
kesengajaan yang mengakibatkan kerugian. Kebakaran terjadi karena
faktor-faktor:
- alam (misalnya musim kemarau yang
terlalu lama)
- manusia (misalnya karena kelalaian
manusia membuat api di tengah-tengah hutan
di musim kemarau atau di hutan-hutan
yang mudah terbakar.
- Bentuk Kerusakan Hutan
yang disebabkan oleh api di dalam areal hutan negara.
Istilah Kebakaran hutan di dalam
Ensiklopedia Kehutanan Indonesia disebut juga Api Hutan. Selanjutnya dijelaskan
bahwa Kebakaran
Hutan atau Api Hutan adalah Api Liar yang terjadi di dalam hutan, yang membakar sebagian atau seluruh komponen hutan. Dikenal ada 3 macam kebakaran hutan, Jenis-jenis
kebakaran hutan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Api Permukaan
atau Kebakaran Permukaan yaitu kebakaran yang terjadi pada
lantai hutan dan membakar
seresah, kayu-kayu kering dan tanaman bawah. Sifat api permukaan cepat
merambat, nyalanya besar dan panas, namun cepat padam. Dalam kenyataannya
semua tipe kebakaran berasal dari api permukaan.
- Api Tajuk
atau Kebakaran Tajuk yaitu kebakaran yang membakar seluruh
tajuk tanaman pokok terutama pada jenis-jenis
hutan yang daunnya mudah terbakar. Apabila tajuk
hutan cukup rapat, maka api yang terjadi cepat merambat dari satu tajuk ke
tajuk yang lain. Hal ini tidak terjadi apabila tajuk-tajuk pohon penyusun
tidak saling bersentuhan.
- Api Tanah adalah api
yang membakar lapisan organik yang dibawah lantai hutan. Oleh karena
sedikit udara dan bahan organik ini, kebakaran yang terjadi tidak ditandai
dengan adanya nyala api. Penyebaran api juga sangat lambat, bahan api
tertahan dalam waktu yang lama pada suatu tempat.
Kebakaran dan Pembakaran
Kebakaran dan pembakaran merupakan sebuah kata dengan
kata dasar yang sama tetapi mempunyai makna yang berbeda. Kebakaran indentik
dengan kejadian yang tidak disengaja sedangkan pembakaran identik dengan
kejadian yang sengaja diinginkan tetapi tindakan pembakaran dapat juga
menimbulkan terjadinya suatu kebakaran. Penggunaan istilah kebakaran hutan
dengan pembakaran terkendali merupakan suatu istilah yang berbeda. Penggunaan
istilah ini sering kali mengakibatkan timbulnya persepsi yang salah terhadap
dampak yang ditimbulkannya.
Kebakaran-kebakaran
yang sering terjadi digeneralisasi sebagai kebakaran hutan, padahal sebagian
besar (99,9%) kebakaran tersebut adalah pembakaran yang sengaja dilakukan
maupun akibat kelalaian, baik oleh peladang berpindah ataupun oleh pelaku binis
kehutanan atau perkebunan, sedangkan sisanya (0,1%) adalah karena alam (petir,
larva gunung berapi). Saharjo (1999) menyatakan bahwa baik di areal HTI, hutan
alam dan perladangan berpindah dapat dikatakan bahwa 99% penyebab kebakaran
hutan di Indonesia adalah berasal dari ulah manusia, entah itu sengaja dibakar
atau karena api lompat yang terjadi akibat kelalaian pada saat penyiapan lahan.
Bahan bakar dan api merupakan faktor penting untuk mempersiapkan lahan
pertanian dan perkebunan (Saharjo, 1999). Pembakaran selain dianggap mudah dan
murah juga menghasilkan bahan mineral yang siap diserap oleh tumbuhan.
Banyaknya jumlah bahan bakar yang dibakar di atas lahan akhirnya akan
menyebabkan asap tebal dan kerusakan lingkungan yang luas. Untuk itu, agar
dampak lingkungan yang ditimbulkannya kecil, maka penggunaan api dan bahan
bakar pada penyiapan lahan haruslah diatur secara cermat dan hati-hati. Untuk
menyelesaikan masalah ini maka manajemen penanggulangan bahaya kebakaran harus
berdasarkan hasil penelitian dan tidak lagi hanya mengandalkan dari terjemahan textbook atau
pengalaman dari negara lain tanpa menyesuaikan dengan keadaan lahan di
Indonesia (Saharjo, 2000).
2.4 Penyebab dan dampak kebakaran hutan
di Kalimantan Tengah
Kebakaran hutan dan lahan di
Indonesia meningkat selama sepuluh tahun terakhir ini, sebagian besar
disebabkan oleh ulah manusia (yang disengaja atau karena lalai) juga karena
kondisi yang sangat kering sebagai pengaruh terjadinya perubahan iklim
global/makro yang melanda wilayah Indonesia.
·
Unsur iklim/cuaca.
Kebakaran hutan dan lahan, dapat
pula terjadi pada musim hujan yang disebabkan karena kejadian alam yaitu
halilintar/petir menyambar pohon yang bertajuk dalam keadaan basah (pohon
pinus) sehingga menimbulkan kebakaran tajuk yang hebat pada hutan pinus. Dengan
adanya iklim ekstrim seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu di
Kalimantan Tengah dimana musim kemarau dan penghujan tidak menentu yaitu bila
musim kemarau/kering tiba dan sangat panas yang memungkinkan terjadinya
kebakaran hutan dan lahan, sebaliknya bila musim hujan terjadi longsor dan
banjir. Beberapa unsur penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan adalah
panas, bahan bakar dan udara/oksigen. Pada prinsipnya, pengendalian kebakaran
hutan dan lahan adalah menghilangkan salah satu atau lebih dari unsur-unsur
tersebut. Penyebaran api bergantung kepada bahan bakar/vegetasi tanaman dan
cuaca. Bahan bakar berat seperti log, tonggak dan cabang-cabang kayu dalam
keadaan kering bisa terbakar, meski lambat tetapi menghasilkan panas yang
tinggi. Bahan bakar ringan seperti rumput, ranting kering, daun-daun pinus dan
serasah, mudah terbakar dan cepat menyebar, yang selanjutnya dapat menyebabkan
kebakaran hutan/lahan yang besar.
Unsur-unsur cuaca yang penting yang
mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan adalah angin, kelembaban dan suhu. Angin
yang bertiup kencang meningkatkan pasokan udara sehingga mempercepat penyebaran
api. Pada kasus kebakaran besar, angin bersifat simultan. Semakin besar
kebakaran, tiupan angin semakin kencang akibat perpindahan massa udara padat di
sekitar kebakaran ke ruang udara renggang di tempat kebakaran. Kadar
air/kelembaban bahan bakar juga penting untuk dipertimbangkan dalam
pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Pada keadaan normal, api menyala
perlahan pada malam hari karena kelembaban udara diserap oleh bahan bakar.
Udara yang lebih kering pada siang hari dapat menyebabkan kebakaran yang cepat.
Oleh sebab itu, secara teknis pada malam hari akan lebih mudah mengendalikan
kebakaran hutan/lahan daripada siang hari.
·
Ulah manusia
Dalam banyak kasus, kebakaran hutan
juga berawal dari kesengajaan manusia melakukan pembakaran hutan dan lahan yang
akan dipergunakan untuk hutan tanaman industri (HTI), perkebunan, ladang,
penggembala/pemburu yang ingin merangsang tumbuhnya rumput, pengusir lebah dari
sarangnya oleh peternak lebah/pengumpul madu dan para perambah hutan.
Pembakaran juga dilakukan pada lahan pertanian/perkebunan untuk membersihkan
daun kering tanaman, sisa-sisa panen serta limbah tanaman pada calon lokasi lahan
perkebunan/pertanian dalam kegiatan persiapan lahan. Karena kebakaran biasanya
dilakukan pada musim kemarau dan kurang diawasi sehingga api mudah merambat
kekawasan hutan dan lahan sekitar yang menyebabkan kerugian baik ekologis
maupun ekonomis.
·
Konflik social.
Penyebab sosial, umumnya berawal
dari suatu konflik antara para pemilik modal industri perkayuan maupun
pertambangan, dengan penduduk asli yang merasa kepemilikan tradisional (adat)
mereka atas lahan, hutan dan tanah dikuasai oleh para investor yang diberi
pengesahan melalui hukum positif negara. Akibatnya kekesalan masyarakat
dilampiaskan dengan melakukan pembakaran demi mempertahankan lahan yang telah
mereka miliki secara turun temurun. Pada situasi seperti ini, masalah
kemiskinan dan ketidak adilan menjadi pemicu kebakaran hutan dan masyarakat
tidak akan mau berpartisipasi untuk memadamkannya.
Ex. Kebakaran Hutan Yang Terjadi di
Kalimantan Tengah
Saturday,
04 October 2014, 14:36 WIB
PALANGKARAYA, KOMPAS.com --Pemerintah Kota
Palangka Raya, Kalimantan Tengah, untuk sementara meliburkan seluruh
aktivitas sekolah sejak Jumat (3/10). Kebijakan itu dipicu polusi udara
akibat asap yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan yang sudah mencapai
level berbahaya.
"Siswa sekolah semua tingkatan mulai hari ini sampai dengan Senin (6/10) diliburkan," kata Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Palangka Raya Norma Hikmah di Palangka Raya, kemarin. Ia meng ungkapkan, surat edaran resmi dari Wali Kota Palangka Raya Nomor 394 Tahun 2014 sudah diberikan ke masing-masing sekolah. Wali Kota Palangka Raya HM Riban Satia juga mengingatkan seluruh peserta didik yang ada di wilayah Palangka Raya untuk tidak melakukan aktivitas berlebihan di luar sekolah. "Peserta didik diharap kan selalu memakai masker (penutup hidung) apabila melakukan aktivitas, baik di luar sekolah dan se bagainya. Dan, tidak diperkenankan kegiatan belajar mengajar di luar ruang kelas," kata Riban Satia. Sementara itu, Polda Jambi mem bentuk tim khusus untuk meng antisipasi kebakaran lahan dan hutan serta untuk mengatasi kabut asap yang kian pekat mencemari udara. Kapolda Jambi Brigjen Bambang Sudarisman mengatakan, tim terpadu ini dibentuk mulai dari tingkat polda hingga polres. Selain polisi, tim terpadu ini juga akan melibatkan TNI serta instansi terkait lainnya. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, titik panas (hotspot) masih tersebar di brbagai daerah. "Di Kali mantan Tengah dan Sumatra Selatan, hotspotsulit mati karena pembakaran masih terus dilakukan," ujarnya, Kamis (2/10). Kepala BNPB Syamsul Maarif telah memerintahkan para deputi BNPB untuk mendampingi BPBD melakukan pemadaman titik api. BNPB telah mengerahkan 2.200 personel TNI dan 1.050 personel Polri untuk membantu BPBD, Manggala Agni, dalam pemadaman darat. Satgas udara, BNPB, bersama BPBD saat ini masih melakukan water bombingdari udara dan melakukan modifikasi cuaca di Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimatan Barat, dan Kalimantan Tengah.
rep:Dyah
Ratna Meta Novia
/antara, ed:fitriyan zamzami |
Kutipan berita
di atas merupakan salah satu bencana yang baru-baru ini terjadi di Kalimantan
Tengah. Pada saat kebakaran yang tidak
diinginkan merusak hutan dan aset lainnya, masyarakat lokal seringkali dianggap
dan dicurigai sebagai penyebab karena mereka membakar hutan sewaktu menyiapkan
lahan untuk kegiatan pertanian. Kalaupun tidak dipersalahkan, masyarakat lokal
cenderung dipandang sebagai korban yang tidak berdaya, yang harus menanggung
dampak negatif dari kebakaran hutan dan/atau lahan. Berbagai penelitian yang
dilakukan di seluruh dunia menunjukkan bahwa persepsi ini perlu ditinjau
kembali karena masyarakat lokal melakukan pengelolaan kebakaran dalam berbagai
situasi dan untuk berbagai alasan yang berbeda. Bahkan masyarakat lokal
seringkali menjadi yang terbaik dalam mengelola atau mencegah kebakaran pada
skala lokal. Masyarakat lokal pun mempunyai peran yang semakin penting dalam
manajemen kebakaran di negara-negara yang pemerintahannya memiliki keterbatasan
untuk menangani kebakaran hutan.
Keberhasilan
pelibatan masyarakat dalam manajemen kebakaran bergantung pada berbagai faktor.
Motivasi masyarakat untuk mengelola kebakaran dipengaruhi oleh seberapa besar
ketergantungan mereka dan/atau hak yang mereka miliki untuk menggunakan dan
memiliki akses terhadap sumber-sumber daya hutan. Meskipun demikian, penting
untuk disadari bahwa masyarakat tidak dapat memberikan solusi lengkap dalam
menangani kebakaran hutan yang berbahaya. Pihak-pihak lain yang terlibat,
termasuk pemerintah dan sektor swasta, harus ikut memainkan peranan penting,
khususnya dalam persiapan menghadapi dan memadamkan kebakaran yang luas. Berkaitan
dengan penggunaan api untuk pertanian oleh masyarakat, perlu dibedakan antara
api yang bermanfaat dan api yang membahayakan. Bagi masyarakat, api merupakan
satu-satunya alat yang tersedia untuk menyiapkan lahan. Penggunaan api biasanya
mampu dikendalikan dan skalanya pun kecil. Perlu dipahami bahwa api menjadi
masalah jika penggunaannya lepas kendali.
Kebakaran hutan yang tidak disengaja berawal dari musim
panas yang berkepanjangan. Pada musim panas sumber-sumber air menjadi kering
termasuk hutan terjadi kehilangan air karena proses evapotranspirasi. Batang,
ranting, dan daun yang kering merupakan sumber bahan bakar yang potensial untuk
terjadinya kebakaran hutan. Bila ada pemicu seperti terjadinya gesekan antara
batang atau ranting pohon akan menimbulkan api, kemudian kebakaran akan
menyebarluas dengan cepat. Hal ini menjadi lebih parah jika terjadi pada
lahan-lahan gambut seperti beberapa daerah di Indonesia. Seperti Kebakaran
hutan di Kalimantan Tengah yang mempunyai lahan gambut. Gambut merupakan batu
bara muda sumber bahan bakar yang potensial bila terjadinya kebakaran hutan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kebakaran hutan seperti :
- Bahan
bakar (ukuran, susunan, volume, jenis, kandungan air/kimia)
- Cuaca
(angin, suhu udara, curah hujan, tanah, kelembaban nisbi)
- Waktu
(21.00-06.00 lambat)
- Topografi
(kemiringan, arah lereng, medan)
- Proses
Kebakaran yang berperan didalamnya seperti : udara, bahan bakar dan panas
(suhu tinggi) menimbulkan nyala Api menjalar
- Penyebaran
kebakaran dan panas yang terjadi melalui konduksi, radiasi, dan konveksi.
Kebakaran merupakan faktor ekologi potensial yang
mempengaruhi hampir seluruh ekosistem darat, walaupun hanya terjadi pada
frekwensi yang kecil. Pengaruh api terhadap ekosistem ditentukan oleh
frekwensi, intensitas dan tipe kebakaran yang terjadi serta kondisi lingkungan.
Api yang terjadi di dalam hutan dapat menimbulkan kerusakan yang besar, tetapi
dalam kondisi tertentu pembakaran dapat memberikan manfaat dalam pengelolaan
hutan.
Kebakaran
hutan merusak hampir seluruh komponen hutan, sehingga tujuan pengelolaan dan
fungsi hutan tidak tercapai. Asap tebal yang terjadi akibat kebakaran hutan
juga menimbulkan gangguan terhadap kehidupan yang lebih luas. Luka-luka pada
pohon dan pohon-pohon yang lemah akibat kebakaran memberikan peluang lebih
tinggi kepada penyebab kerusakan lain terutama hama dan penyakit.
Dampak
kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan Tengah
Kebakaran
hutan/lahan gambut secara nyata berpengaruh terhadap terdegradasinya kondisi
lingkungan,
kesehatan manusia dan aspek sosial ekonomi bagi masyarakat.
1.
Terdegradasinya
kondisi lingkungan
·
Perubahan
kualitas fisik gambut (penurunan porositas total, penurunan kadar air tersedia,
penurunan permeabilitas dan meningkatnya kerapatan lindak);
·
Perubahan
kualitas kimia gambut (peningkatan pH, kandungan N-total, kandungan fosfor dan
kandungan basa total yaitu Kalsium, Magnesium, Kalium, dan Natrium, tetapi
terjadi penurunan kandungan C-organik);
·
Terganggunya
proses dekomposisi tanah gambut karena mikroorganisme yang mati akibat
kebakaran;
·
Suksesi
atau perkembangan populasi dan komposisi vegetasi hutan juga akan terganggu
(benih-benih vegetasi di dalam tanah gambut rusak/terbakar) sehingga akan
menurunkan keanekaragaman hayati;
·
Rusaknya
siklus hidrologi (menurunkan kemampuan intersepsi air hujan ke dalam tanah,
mengurangi transpirasi vegetasi, menurunkan kelembaban tanah, dan meningkatkan
jumlah air yang mengalir di permukaan (surface run off). Kondisi demikian
menyebabkan gambut menjadi kering dan mudah terbakar, terjadinya sedimentasi
dan perubahan kualitas air serta turunnya populasi dan keanekaragaman ikan di
perairan. Selain itu kerusakan hidrologi di lahan gambut akan menyebabkan
jangkauan intrusi air laut semakin jauh ke darat;
·
Gambut
menyimpan cadangan karbon, apabila terjadi kebakaran maka akan terjadi emisi
gas karbondioksida dalam jumlah besar. Sebagai gas rumah kaca, karbondioksida
berdampak pada pemanasan global. Berdasarkan studi ADB, kebakaran gambut 1997
menghasilkan emisi karbon sebesar 156,3 juta ton (75% dari total emisi karbon)
dan 5 juta ton partikel debu.
2.
Kesehatan
manusia
·
Ribuan
penduduk dilaporkan menderita penyakit infeksi saluran pernapasan, sakit mata
dan batuk sebagai akibat dari asap
kebakaran. Kebakaran gambut juga menyebabkan rusaknya kualitas air, sehingga
air menjadi kurang layak untuk diminum.
3.
Aspek
sosial ekonomi
·
Hilangnya
sumber mata pencaharian masyarakat yang masih menggantungkan hidupnya pada
hutan (berladang, beternak, berburu/menangkap ikan);
·
Penurunan
produksi kayu;
·
Terganggunya
kegiatan transportasi;
·
Terjadinya
protes dan tuntutan dari negara tetangga akibat dampak asap kebakaran;
·
Meningkatnya
pengeluaran akibat biaya untuk pemadaman.
Penyebab
kebakaran hutan di Kalimantan Tengah
Lebih dari 99% penyebab kebakaran hutan dan lahan gambut
adalah akibat ulah manusia, baik yang sengaja melakukan pembakaran ataupun
akibat kelalaian dalam menggunakan api. Hal ini didukung oleh kondisi-kondisi
tertentu yang membuat rawan terjadinya kebakaran, seperti gejala El Nino,
kondisi fisik gambut yang terdegradasi dan rendahnya kondisi sosial ekonomi
masyarakat.
1.
Unsur
iklim/cuaca.
Kebakaran hutan dan lahan, dapat pula terjadi
pada musim hujan yang disebabkan karena kejadian alam yaitu halilintar/petir
menyambar pohon yang bertajuk dalam keadaan basah (pohon pinus) sehingga
menimbulkan kebakaran tajuk yang hebat pada hutan pinus. Dengan adanya iklim
ekstrim seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu di Kalimantan Tengah
dimana musim kemarau dan penghujan tidak menentu yaitu bila musim
kemarau/kering tiba dan sangat panas yang memungkinkan terjadinya kebakaran
hutan dan lahan.
2.
Penyebab
kebakaran oleh manusia dapat dirinci sebagai berikut:
a.
Pembakaran
vegetasi. Kebakaran yang disebabkan oleh api yang berasal dari pembakaran
vegetasi yang disengaja tetapi tidak dikendalikan pada saat kegiatan, misalnya
dalam pembukaan areal HTI dan perkebunan serta penyiapan lahan pertanian oleh
masyarakat.
b.
Aktivitas dalam pemanfaatan sumber daya alam.
Kebakaran yang disebabkan oleh api yang berasal dari aktivitas manusia selama
pemanfaatan sumber daya alam, misalnya pembakaran semak belukar yang
menghalangi akses mereka dalam pemanfaatan sumber daya alam serta pembuatan api
untuk memasak oleh para penebang liar dan pencari ikan di dalam hutan.
Keteledoran mereka dalam memadamkan api dapat menimbulkan kebakaran.
c.
Penguasaan
lahan. Api sering digunakan masyarakat lokal untuk memperoleh kembali hak-hak
mereka atas lahan.
3.
Penyebab
konflik social yang pada umumnya berawal dari suatu konflik antara para pemilik
modal industri perkayuan maupun pertambangan, dengan penduduk asli yang merasa
kepemilikan tradisional (adat) mereka atas lahan, hutan dan tanah dikuasai oleh
para investor yang diberi pengesahan melalui hukum positif negara. Akibatnya
kekesalan masyarakat dilampiaskan dengan melakukan pembakaran demi
mempertahankan lahan yang telah mereka miliki secara turun temurun.
Faktor
pendukung kerawanan terjadinya kebakaran hutan di Kaliamnatan Tengah
1.
Kerawanan
terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut tertinggi terjadi pada musim kemarau
dimana curah hujan sangat rendah dan intensitas panas matahari tinggi. Kondisi ini
pada umumnya terjadi antara bulan Juni hingga Oktober dan kadang pula terjadi
pada bulan Mei sampai November. Kerawanan kebakaran semakin tinggi jika
ditemukan adanya gejala El Nino;
2.
Pembuatan
kanal-kanal dan parit di lahan gambut telah menyebabkan gambut mengalami
pengeringan yang berlebihan di musim kemarau dan mudah terbakar;
3.
Areal
rawa gambut merupakan lahan yang miskin hara dan tergenang air setiap tahunnya,
sehingga kurang layak untuk pertanian. Untuk
2.5 Pencegahan
dan penaggulangan kebakaran hutan di Kalimantan Tengah
A.
Peran Pemerintah
Penanganan Kebakaran hutan, lahan dan kebun menjadi sorotan
di dalam negeri tapi juga dunia luar. Dalam penanganan Kebakaran hutan, lahan
dan kebun permerintah Republik Indonesia telah melakukan upaya-upaya
peningkatan efektivitas kesiapsiagaan terhadap bencana kebakaran hutan, lahan
dan kebun. Untuk kesiapsiagaan bencana kebakaran hutan dan lahan wilayah
Kalimantan pada tanggal 31 Juli 2013 sudah dilaksanakan Rapat Koordinasi Siaga
Darurat Bencana Kebakaran Lahan dan Hutan Wilayah Kalimantan. Rapat dihadiri
segenap stakeholder dan kementerian terkait diantaranya Gubernur Kalimantan
Tengah, Kepala BNPB, Deputi I Menkokesra Bidang Lingkungan Hidup dan Kerawanan
Sosial, perwakilan dari BPPT, Kemenhut, Kementan, BMKG, TNI, POLRI, dan
perwakilan dari Provinsi Kalbar, Kalsel, Kaltim serta dihadiri oleh Bupati se
Kalimantan Tengah.
Rapat
koordinasi tersebut menghasilkan beberapa langkah aksi penting guna memasuki
musim kemarau dimana posko di daerah rawan kebakaran harus segera bergerak agar
dapat mengantisipasi kebakaran yang meluas dan mencegah dampak asap yang dapat
ditimbulkan. Saat ini baik sarana/prasarana dan regu/personel dari berbagai
elemen sudah siap di posko Kalimantan Tengah.
Berikut
lokasi Posko darurat kebakaran:
·
Landasan
Udara Halim Perdana Kusuma untuk wilayah Pusat
·
Provinsi
Sumatera Selatan untuk wilayah Sumatera
·
Provinsi
Kalimantan Tengah untuk wilayah Kalimantan
Pada
tingkat Internasional terutama di tingkat ASEAN dalam penanganan Kebakaran
Hutan Lahan dan Kebun telah dilaksanakan pertemuan Ministerial
Steering Commite (MSC) ke-2 Technical Task Force (MTTF), dan pertemuan
ASEAN Sub-Regional Technical Working Group (TWG) on Transboundary Haze
Pollution ke-15 di Kuala Lumpur, Malaysia 15 – 17 Juli 2013.
Pertemuan
tersebut membahas tentang rencana aksi Indonesia dalam menangani bencana
kebakaran dan asap lintas batas serta pengembangan teknologi monitoring hotspot.Dalam
pertemuan tersebut Indonesia menyampaikan upaya-upaya nyata dalam pencegahan
dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan yang berakibat terjadinya asap
lintas batas di Provinsi Riau. Upaya-upaya tersebut, antara lain:
-
Melakukan monitoring hot spot harian di seluruh wilayah Indonesia, khususnya di
9 (sembilan) provinsi rawan kebakaran yaitu di Provinsi Aceh, Sumatera Utara,
Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah dan Kalimantan Timur.
-
Diseminasi informasi kepada seluruh pemangku kepentingan.
-
Pembentukan satgas penanggulangan kebakaran hutan dan lahan serta bencana asap
di 9 (sembilan) provinsi rawan kebakaran. termasuk pendirian pusat komando
bencana kebakaran dan asap lintas batas di Landasan udara Halim Perdana Kusuma.
-
Melaksanakan tanggap darurat nasional dengan pengerahan personel TNI, POLRI,
BNPB/BPBD, Manggala Agni. Membangun partisipasi masyarakat dalam pencegahan
kebakaran hutan dan lahan. Untuk memberikan efek jera kepada pelaku pembakaran
hutan dan lahan dilakukan penegakkan hukum secara serius dan terpadu.
Proses
ratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP),
saat ini telah sampai pada tahap pengajuan kembali ke DPR untuk mendapat
persetujuan. Walaupun proses ratifikasi sedang dilakukan, Indonesia sudah
melaksanakan pokok-pokok yang tertuang dalam AATPH tersebut
Sebagai
tindak lanjut upaya penanganan Kebakaran hutan, lahan dan kebun dilaksanakan
Rakor Menteri Tentang Tindak Lanjut Penanggulangan Bencana Asap Akibat
Kebakaran Lahan dan Hutan tanggal 27 Juni 2013 di Kementerian Kehutanan.
Terdapat 2 (dua) agenda yang dibahas dalam pertemuan tersebut. Agenda yang
pertama adalah pembentukan satgas pengendalian kebakaran hutan dan lahan serta
Bencana asap di 8 Provinsi, dilanjutkan dengan agenda yang kedua yaitu evaluasi
penanganan kebakaran hutan dan lahan serta bencana asap di Provinsi Riau.
Dalam
rapat tersebut juga dibahas permasalahan yang timbul dalam upaya pengendalian
kebakaran hutan dan lahan, antara lain:
- Dibutuhkan
volume air yang sangat banyak untuk pemadaman kebakaran di lahan gambut,
sedangkan kejadian kebakaran terjadi pada saat musim kemarau dengan
ketersediaan air yang terbatas.
- Pemerintah
Daerah tidak memiliki pasukan dan sarana prasarana yang memadai untuk
pemadaman kebakaran lahan dan kebun. Selama ini Manggala Agni yang
bertugas memadamkan kebakaran di kawasan hutan dijadikan ujung tombak
dalam pemadaman kebakaran lahan dan kebun. Pada pertemuan tersebut juga
disepakati pembentukan brigade pengendalian kebakaran lahan dan kebun.
Rapat
koordinasi menghasilkan beberapa rumusan yang perlu ditindaklanjuti dalam upaya
penanganan kebakaran hutan, lahan dan kebun, diantaranya adalah:
1.
Perlunya
mengalokasikan anggaran (APBN/APBD) yang memadai dalam upaya pencegahan dan
pengendalian kebakaran hutan dan lahan di sekitar kementrIAN / LEMBAGA.
2.
Perlu
segera dibentuk SKPD yangkhusus menangani kebakaran hutan dan lahan yang memiliki
sumbsr daya, sarana, prasarana, dan pemberdayaan yang memadai di kabupaten/kota
yang rawan kebakaran.
3.
Diperkirakan
puncak musim kemarau terjadi pada Bulan Agustus sampai September 2013 untuk itu
perlu segera dilakukan sosialisasi kepada pemda dan masyarakat. Sosialisasi
dilakukan di 7 (tujuh) provinsi lain yang diperkirakan akan terjadi kebakaran
lahan dan hutan.
4.
Dalam
upaya kesiapsiagaan ke depan perlu penyediaan pesawat untuk water
bombing dan penyemai hujan. Karena itu rapat menyetujui agar BNPB melakukan
usulan inisiatif baru untuk mendukung kesiapsiagaan tersebut.
5.
Dalam
rangka pelaksanaan Inpres No. 16 Tahun 2011 Tentang Peningkatan Pengendalian
Kebakaran Hutan dan Lahan perlu dibuat masterplan terpadu lintas Kementerian
dengan anggaran satu pintu, dimana BNPB diharapkan dapat menjadi leading sektor.
Demikian
serangkaian Kegiatan upaya peningkatan efektivitas penanganan kebakaran hutan.
Lahan dan kebun yang telah dilaksanakan baik oleh Kementerian Pertanian
bersamaan dengan kementerian lembaga terkait
Dalam menindak lanjuti hal tersebut
diatas, Jakarta pada tanggal 17 April 2014. Berdasarkan prediksi Fire
Danger Rating System(FDRS) dan curah hujan yang menurun yang diinfokan
oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), maka kebakaran lahan
dan hutan berpotensi terjadi pada 8 Provinsi rawan (Sumatera Utara, Riau,
Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan
Timur, Kalimantan Selatan). Kebakaran tersebut berpeluang lebih
menyebar dalam periode yang lebih panjang, karena dipicu oleh fenomena el
nino sedang. Untuk itu Kementerian Lingkungan Hidup menyelenggarakan
Lokakarya Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan yang diselenggarakan di Jakarta
pada tanggal 16 -17 April 2014. Beberapa isu terkait pencegahan karhutla dan
operasionalisasinya dibahas pada lokakarya ini, diantaranya :
1.
Penguatan
kapasitas Masyarakat Peduli APi (MPA) dalam pencegahan karhutla di daerah rawan
karhutla untuk bergerak aktif terlibat dalam pencegahan dan penanggulangan
karhutla seperti patroli dan pemadaman dini.
2.
Peningkatan
kemampuan pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB) khususnya di lahan gambut
dan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan lahan gambut berkelanjutan.
3.
Mengembangkan
desa bebas asap.
4.
Menyebarluaskan
dan mengopersionalkan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) dan Sistem Peringkat
Bahaya Kebakaran (SPBK) sebagai kriteria kesiapsiagaan di tingkat lokasi
kejadian kebakaran hutan dan lahan
5.
Melakukan
sosialisasi dan kampanye.
6.
Audit
lingkungan terhadap perusahaan yang terindikasi tidak taat terhadap peraturan
perundangan di bidang lingkungan hidup.
7.
Pemberian
insentif untuk implementasi pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB).
8.
Menentukan
daerah rawan kebakaran hutan dan lahan.
9.
Memetakan
lahan konsesi perusahaan kehutanan dan perkebunan.
10. Memperkuat implementasi sistem
peringatan dini.
Dalam arahan nya pada lokakarya
tersebut, Menteri Lingkungan Hidup, Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA,
mengatakan,”Perlu diperhatikan tiga hal dan upaya pencegahan kebakaran hutan
dan lahan yaitu adanya early warning system yang baik, pelibatan masyarakat
dalam penanganganan kebakaran hutan dan lahan serta penegakan hukum”.
Kecenderungan kejadian kebakaran
hutan dan lahan (karhutla) selalu berulang tiap tahun, dan dalam satu tahun
terjadi dua puncak karhutla yaitu Maret-April (periode I) dan Juli-Agustus
(periode II). Karhutla periode I pada tahun 2014 terjadi lebih awal yaitu
Februari. Kejadian karhutla tersebut perlu menjadi rujukan untuk menghadapi
periode II.
Dalam kaitan tersebut, maka perlu
disusun rencana operasionalisasi pencegahan yang mampu mengurangi resiko
karhutla periode II, dengan tetap mengacu kepada beberapa peraturan yang
tersedia seperti Inpres No 16 tahun 2011 tentang peningkatan Pengendalian
Kebakaran hutan dan Lahan. Dalam Inpres tersebut terdapat beberapa instruksi
kepada KLH antara lain meningkatkan kuantitas dan kualitas SDM dalam
Pengendalian Kebakaran Hutan dan lahan serta meningkatkan kinerja PPNS akibat
kebakaran hutan dan lahan.
Keberhasilan pencegahan dan
penanggulangan kebakaran hutan dan lahan merupakan implementasi di
lapangan yang konsisten dari hasil kerja sama pemerintah daerah,
pemerintah pusat, pengusaha dan masyarakat yang dituangkan dalam suatu
rencana aksi.
Menetapkan
Kebijakan
Peraturan dan perundangan yang berkaitan dengan pencegahan
dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan diatur dalam UU No. 5 tahun1990,
UU No. 5 tahun 1994, UU No. 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999 dan PP No. 4
tahun 2001. Langkah-langkah dan upaya-upaya dalam rangka penanggulangan
kebakaran kebakaran hutan dan lahan terdiri dari:
1.
Pemasyarakatan
tindakan pencegahan dan penanggulangan(pemadaman) melalui kegiatan penyuluhan
yang terkoordinasi seperti penggunaan media cetak, elektronik dan sebagainya;
2.
Pelarangan
kegiatan pembakaran dan pemasyarakatan kebijakan penyiapan lahan tanpa bakar
(PLTB);
3.
Peningkatan
keterampilan dan kemampuan sumber daya manusia baik yang berasal dari instansi
pemerintah maupun perusahaan;
4.
Pemenuhan
dan pengadaan peralatan pemadaman kebakaran sesuai dengan standar yang
ditetapkan;
5.
Melakukan
kerjasama teknik dengan negara-negara donor;
6.
Peningkatan
kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan;
7.
Menindak
tegas setiap pelanggar hukum/peraturan yang telah ditetapkan;
8.
Peningkatan
upaya penegakkan hukum.
Tanggung Jawab Terhadap Pengendalian
Kebakaran Hutan dan Lahan
Kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan
asap menyakitkan bagi makhluk hidup merupakan tanggung jawab kita bersama.
Berdasarkan UU No. 41 tahun 1999 dan PP No. 4 tahun 2001, kebakaran hutan dan
lahan di seluruh Indonesia merupakan tugas dan tanggung jawab setiap warga,
dunia usaha, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan pemerintah
pusat.
•
Setiap orang berkewajiban
mencegah kebakaran hutan dan lahan;
•
Pemerintah bertanggung jawab
terhadap pengendalian kebakaran hutan di hutan Negara;
•
Penanggung jawab usaha
(perorangan, badan usaha milik swasta/ Negara/daerah, koperasi, yayasan)
bertanggung jawab terhadap pengendalian kebakaran di lokasi usahanya;
•
Pengendalian hutan pada hutan hak
dilakukan oleh pemegang hak.
•
|
Surat edaran dari Polresta
Palangka Raya Nomor : SE/101/IX/2013 memuat bahwa membakar hutan tanpa
ijin, diancam pidana penjara 15 tahun dan denda Rp 5 Miliar dengan Pasal 78
ayat (3) huruf d, Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009.
“Hal ini bisa kita lihat pada
Peraturan Daerah (Perda) Kota Palangka Raya Nomor 7 Tahun 2003, dimana
barang siapa yang membakar lahan dan hutan akan tersangkut Pasal 21 dengan
diancam pidana kurungan enam bulan atau denda maksimal Rp 5 Juta,”
|
Sanksi dan Denda Penyebab Kebakaran Hutan
Tindakan hukum bagi para penyebab kebakaran secara
tegas telah diatur dalam UU No. 41 tahun 1999 dalam pasal 78 ayat 3, 4 dan
11, yaitu :
•
Sengaja
membakar hutan : Pidana penjara paling lama 15
tahun dan denda paling banyak 5 milyar rupiah.
•
Kelalaian
sehingga menyebabkan kebakaran hutan : Pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling
banyak 1,5 milyar rupiah.
•
Membuang
benda yang dapat menyebabkan kebakaran hutan : Pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda
paling banyak 1 milyar rupiah.
|
Membentuk Lembaga-lembaga / Instansi
Terkait Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan
Instansi-instansi
pemerintah yang terkait dengan kegiatan pencegahan dan penanggulangan kebakaran
hutan dan lahan (PPKHL), yaitu :
•
Sektor Kehutanan, yaitu: Departemen
Kehutanan;
•
Sektor Pertanian, yaitu : Departemen
Pertanian;
•
Sektor Lingkungan, yaitu : Kementerian
Negara Lingkungan Hidup;
•
Sektor Manajemen Bencana, yaitu :
Bakornas PBP;
•
Sektor Lain, yaitu: Departemen Dalam
Negeri, BMG, LAPAN, BPPT.
Sektor
Kehutanan
Sebagian
besar kebakaran yang terjadi di kawasan hutan dan lahan berkaitan dengan
kegiatan pengusahaan hutan, pemanfaatan lahan oleh masyarakat dan kegiatan
konversi lahan lainnya.
Departemen
Kehutanan
Masalah
kebakaran hutan dan lahan di Indonesia menjadi semakin penting sejak terjadinya
kebakaran 1997/1998. Di tingkat Nasional, bagian/unit Departemen Kehutanan yang
menangani masalah kebakaran telah mengalam beberapa perubahan seiring dengan
meningkatnya ancaman dan peristiwa kebakaran. Direktorat Jenderal Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) merupakan unit Departemen Kehutanan yang
mempunyai wewenang dalam menangani masalah kebakaran hutan, unit ini
bertanggung jawab langsung pada Menteri Kehutanan dan mempunyai direktorat
khusus yang menangani masalah kebakaran hutan, yaitu Direktorat Penanggulangan
Kebakaran Hutan. Direktorat ini mempunyai 4 subdirektorat, yaitu: Sub
Direktorat Pengembangan Sistem Pengendalian Kebakaran, Sub Direktorat Deteksi
dan Evaluasi, Sub Direktorat Pencegahanndan Pemadaman dan Sub Direktorat Dampak
Kebakaran. Di tingkat daerah, tanggung jawab masalah kebakaran secara teknis
umumnya ditangani oleh Dinas Kehutanan tingkat Propinsi dan Kabupaten.
Pusat
Pengendalian Kebakaran Hutan Nasional (PUSDALKARHUTNAS)
PUSDALKARHUTNAS
merupakan organisasi non struktural yang dibentuk oleh Departemen Kehutanan
untuk menangani secara khusus masalah kebakaran. Melalui organisasi ini,
diharapkan masalah kebakaran hutan dapat ditangani secara komprehensif dan
memudahkan koordinasi resmi antar seksi di Departemen dan diantara lembaga
terkait di tingkat propinsi dan kabupaten di seluruh Indonesia. PUSDALKARHUTNAS
dikepalai oleh DIRJEN PHKA dan beranggotakan Sekretaris Jenderal dan seluruh
DIRJEN lainnya di dalam Departemen Kehutanan, Dewan Direksi BUMN Kehutanan,
Staf Ahli Menteri VI dan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI). Adapun
fungsi dan tugas utama dari PUSDALKARHUTNAS, yaitu:
•
Merumuskan dan memberikan arahan
kebijakan operasional usahausaha pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan;
•
Mengkoordinasikan upaya-upaya pencegahan
dan pemadaman kebakaran hutan secara terintegrasi di tingkat nasional;
•
Mengawasi pelaksanaan program-program
dalam kerangka kerja kebijakan operasional yang ditetapkan Menteri;
•
Merencanakan cara dan peralatan yang
diperlukan untuk mengendalikan kebakaran hutan.
Fungsi dan tugas utama PUSDALKARHUTLA yaitu
melakukan koordinasi dengan Satkorlak Penanggulangan Bencana dan Penanganan
Pengungsi (PBP) dan menetapkan kebijakan serta langkah-langkah yang akan
diambil dalam rangka operasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Sedangkan
fungsi dan tugas utama POSKOLAKDALKARHUTLA adalah menyusun rencana kegiatan
operasi, menyelenggarakan koordinasi horisontal dan vertikal, memegang komando
operasi lapangan dan membuat laporan pelaksanaan operasi. Kemudian
SATLAKDALKARHUTLA bertugas melaksanakan operasi pengendalian kebakaran, membuat
laporan operasi dan menggerakkan tenaga bantuan masyarakat.
Sektor
Pertanian
Di
tingkat Nasional, bagian/unit Departemen Pertanian yang bertanggung jawab dalam
menangani masalah kebakaran yang terjadi di lahan adalah Direktorat
Perlindungan Perkebunan. Direktorat ini bertanggung jawab langsung kepada
Direktur Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Di dalam direktorat ini belum ada
divisi khusus yang bertanggung jawab dalam hal penanganan kebakaran yang
terjadi di perkebunan atau lahan pertanian lainnya.
Sektor
Lingkungan
Terjadinya
kebakaran hutan dan lahan berakibat pada turunnya kondisi lingkungan.
Pengelolaan lingkungan di Indonesia menjadi tanggung jawab Kementerian Negara
Lingkungan Hidup. Dalam rangka meningkatkan keefektifan dan fungsi kegiatan
pengawasan dan pengendalian lingkungan maka dibentuklah Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan (BAPEDAL) dibawah koordinasi Kementerian Negara lingkungan
Hidup dan bertanggungjawab langsung pada Presiden. Bapedal tidak mempunyai unit
atau bagian khusus yang menangani masalah kebakaran hutan dan lahan.
Sehingga
pada tahun 1995 dibentuklah lembaga non struktural Tim Koordinasi Nasional
Kebakaran Lahan (TKNKL) yang terfokus pada manajemen kebakaran lahan. TKNKL
dikepalai oleh Dirjen PHPA. Terjadinya kebakaran hebat tahun 1997 mendasari
dikeluarkannya Keputusan No.40/MenLH/1997
tentang pembentukan Tim Koordinasi Nasional Pengendalian Kebakaran Hutan
dan Lahan (TKNPKHL) dimana ruang lingkupnya lebih luas dan mempunyai wewenang
yang lebih kuat. TKNPKHL dibawah pimpinan Menteri Negara Lingkungan hidup dan
sebagai ketua pelaksana adalah Dirjen PHKA.
Sektor
Manajemen Bencana
Badan
koordinasi nasional penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi (Bakornas
PBP) merupakan badan koordinasi non structural dan hanya berfungsi apabila aksi
multi-sektoral diperlukan selama terjadinya bencana, misalnya bencana kebakaran
hutan dan lahan. Badan ini dikepalai oleh Wakil Presiden RI dan anggotanya
terdiri dari 9 orang Menteri, Pimpinan TNI dan Kepolisian, serta para Gubernur
dari propinsi yang terkena bencana.
Sektor
Lain
Badan
Meteorologi dan Geofisika (BMG), LAPAN, BPPT, Departemen Transmigrasi, Badan
SAR Nasional, Kepolisian, TNI merupakan instansi instansi terkait lainnya yang
ikut bertangung jawab dalam manajemen pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
Data dan informasi tentang keadaan lingkungan, hotspot (titik panas)
yang dihasilkan oleh LAPAN sangat diperlukan dalam upaya pencegahan terutama
dalam kegiatan peringatan dini terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Selain
pada saat pencegahan, instansi instansi tersebut diatas juga ikut terlibat
dalam upaya
pemadaman
dan penanganan paska kebakaran.
B.
Peranan
Masyarakat Terhadap Kelestarian Hutan dan Reboisasi Penanggulanagn Bencana
Kebakaran Hutan
Selain pemerintah, masyarakat juga harus berperan aktif
dalam melakukan pelestarian dan penghijauan hutan kembali (reboisasi). Tanpa
peran serta dan dukungan masyarakat maka kelestarian hutan juga tidak dapat
dikendalikan. Berikut ini beberapa peran serta masyarakat yang cukup penting
dalam pelestarian hutan di indonesia:
-Menanamkan Kesadaran Pentingnya Hutan
Seperti
yang telah diuraikan diatas. Maka hutan sebagai paru-paru dunia dan bumi ini
bergantung pada hutan sebagai penjaga suhu bumi agar tetap stabil (global
warming). Dimana jika hutan ini habis maka suhu bumi tidak stabil sehingga
kerusaka ekosistem yang lain akan susul-menyusul.
Masyarakat
harus tahu hal itu dan sejak dini anak-anak dan remaja harus didik untuk sadar
lingkungan dan kelestarian hutan. Orang tua dan guru harus terus
mengkampanyekan pentingnya hutan agar tertanam dalam bawah sadar mereka bahwa
kerusakan hutan akan juga merusak kelangsungan hidup manusia.
Jika
kesadaran itu sudah tumbuh maka, masyarakat akan saling bekerja sama menjaga
kelestarian hutan dan segera melapor atau mencegah dengan sendirinya jika
ada orang-orang yang hendak merusak atau menebang pohon-pohon di hutan di
sekitar mereka.
-Menghilangkan Kebiasaan Ladang Berpindah-Pindah
Bagi
masyarakat petani harus dihindari pembukaan lahan hutan untuk pembuatan ladang
yang berpindah-pindah. Ini juga penyebab kerusakan hutan yang mungkin masih
sering terjadi terutama di daerah-daerah terpencil.
-Kebiasaan Menanam Pohon
Masyarakat
terutama generasi muda diharapkan mempunyai kebiasaan menanam pohon
dilingkungan tempat tinggalnya. Baik dipekarangan rumah atau dipinggir-pinggir
jalan desa. Kebiasaan ini perlu dipupuk sejak dini. Memang sulit hal ini
diterapkan didaerah perkotaan. Tapi kebiasaan ini masih bisa diterapkan di
desa-desa dan digalakan untuk masyarakat desa.
-Menjaga Lingkungan Hidup, menghemat Air
Bersih dan Daur Ulang
Masyarakat
juga diminta untuk menjaga lingkungan tempat tinggal dengan menjaga kebersihan
lingkungan. Menghemat penggunaan air bersih dan tidak mencemari sumber-sumber
air bersih seperti sungai dan danau dan lain-lain. Masyarakat juga harus
kreatif memanfaatkan teknologi daur ulang untuk menjadikan sampah sampah
organik sebagai pupuk dan juga menggunakan kertas daur ulang untuk menghindari
penggunaan kertas.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1
Kesimpulan
Keberadaan hutan
makin hari makin menyusut luasnya yang dikarenakan oleh beberapa sebab. Salah
satunya yang dapat dikatakan paling dahsyat adalah kebakaran hutan. Kebakaran
hutan dapat mengakibatkan musnahnya atau berkurangnya hutan dalam waktu yang
relative singkat. Seperti halnya di wilayah lain, di Sulawesi
Tengah pun pada musim kemarau terjadi kebakaran hutan, walaupun tidak sebesar
seperti di Kalimantan atau di Sumatera. Kebakaran hutan terutama terjadi pada
daerah-daerah yang berdekatan dengan komunitas masyarakat yang aktifitasnya
berhubungan dengan hutan.
Kebakaran
hutan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain sebagai berikut:
1.
Kecerobohan manusia antara
lain membuang puntung rokok sembarangan
dan lupa mematikan api di perkemahan.
2.
Aktivitas vulkanis seperti terkena
aliran lahar atau awan panas dari letusan gunung berapi.
3.
Tindakan yang disengaja seperti untuk
membersihkan lahan pertanian atau membuka lahan pertanian baru dan tindakan
vandalisme.
4.
Kebakaran di bawah tanah/ground
fire pada
daerah tanah gambut yang dapat menyulut kebakaran di atas tanah pada saat musim
kemarau.
Pada umumnya, penyebab utama kebakaran hutan adalah
manusia, baik yang secara sengaja membersihkan lahan perkebunannya dengan
menggunakan jasa api, maupun aktifitas lain yang tidak disengaja seperti
pencari rotan, penebang pohon dan pengemudi angkutan kayu yang membuang puntung
rokok sembarangan, api unggun dari peserta camping/wisata alam yang
meninggalkan tempat perapiannya tanpa mematikan api terlebih dahulu dan lain
lain. Bahaya kebakaran hutan dan lahan menimbulkan asap yang mengganggu
aktifitas kehidupan manusia, antara lain berdampak pada mewabahnya
penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) dan menganggu sistem
transportasi darat dan udara. Dampak yang paling besar adalah musnahnya plasma
nutfah serta mengakibatkan menurunnya kualitas dan kuantitas hutan yang pada
akhirnya merusak ekosistem lingkungan. Untuk mengatasi terjadi kebakaran hutan
bukanlah sesuatu yang mudah, untuk itu upaya yang baik adalah melakukan
antisipasi dan pencegahan kebakaran hutan, mengingat penaggulangan kebakaran
hutan memerlukan dana dan tenaga yang sangat besar. Upaya pencegahan kebakaran
hutan akan dapat terlaksana apabila mendapat dukungan berbagai pihak, terutama
dari masyarakat desa yang berada di sekitar hutan. Untuk itu perlu dilakukan
internalisasi pemahaman tentang bahaya kebakaran hutan dan keterampilan teknik
pemadaman kebakaran hutan pada masyarakat. Beberapa pengetahuan dan
keterampilan yang perlu disampaikan kepada masyarakat meliputi aspek-aspek
sebagai berikut: (1) Kebijakan dan ketentuan tentang pencegahan dan
pengendalian kebakaran hutan; (2) Partisipasi masyarakat dan pengorganisasian
Pemadam Kebakaran; (3) Partisipasi masyarakat dan pengorganisasian Pemadam
Kebakaran; dan (4) Upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan.
Menteri Kesehatan RI, 2003
menyatakan bahwa kebakaran hutan menimbulkan polutan udara yang dapat
menyebabkan penyakit dan membahayakan kesehatan manusia. Berbagai pencemar
udara yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan, misalnya : debu dengan ukuran
partikel kecil (PM10 & PM2,5), gas SOx, NOx, COx, dan lain-lain dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia, antara lain infeksi
saluran pernafasan, sesak nafas, iritasi kulit, iritasi mata, dan lain-lain.
Selain
itu juga dapat menimbulkan gangguan jarak pandang/ penglihatan, sehingga dapat
menganggu semua bentuk kegiatan di luar rumah. Gumpalan asap yang pedas akibat
kebakaran yang melanda Indonesia pada tahun 1997/1998 meliputi wilayah Sumatra
dan Kalimantan, juga Singapura dan sebagian dari Malaysia dan Thailand. Sekitar
75 juta orang terkena gangguan kesehatan yang disebabkan oleh asap.
(Cifor,2001).
Gambut
yang terbakar di Indonesia melepas karbon lebih banyak ke atmosfir daripada
yang dilepaskan Amerika Serikat dalam satu tahun. Hal itu membuat Indonesia
menjadi salah satu pencemar lingkungan terburuk di dunia pada periode tersebut (Applegate,
G. dalam CIFOR, 2001).
Dampak
kebakaran hutan 1997/98 bagi ekosistem direvisi karena perubahan perhitungan
luas kebakaran yang ditemukan. Taconi, 2003 menyebutkan bahwa kebakaran yang
mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi menelan biaya ekonomi sekitar
1,62-2,7 miliar dolar. Biaya akibat pencemaran kabut asap sekitar 674-799 juta
dolar; biaya ini kemungkinan lebih tinggi karena perkiraan dampak ekonomi bagi
kegiatan bisnis di Indonesia tidak tersedia. Valuasi biaya yang terkait dengan
emisi karbon menunjukkan bahwa kemungkinan biayanyamencapai2,8 miliar dolar.
Kebakaran
hutan secara nyata berpengaruh terhadap
terdegradasinya kondisi lingkungan,
kesehatan manusia dan aspek sosial ekonomi bagi masyarakat.
Terdegradasinya kondisi lingkungan
·
Perubahan
kualitas fisik gambut (penurunan porositas total, penurunan kadar air tersedia,
penurunan permeabilitas dan meningkatnya kerapatan lindak);
·
Perubahan
kualitas kimia gambut (peningkatan pH, kandungan N-total, kandungan fosfor dan
kandungan basa total yaitu Kalsium, Magnesium, Kalium, dan Natrium, tetapi
terjadi penurunan kandungan C-organik);
·
Terganggunya
proses dekomposisi tanah gambut karena mikroorganisme yang mati akibat
kebakaran;
·
Suksesi
atau perkembangan populasi dan komposisi vegetasi hutan juga akan terganggu
(benih-benih vegetasi di dalam tanah gambut rusak/terbakar) sehingga akan
menurunkan keanekaragaman hayati;
·
Rusaknya
siklus hidrologi (menurunkan kemampuan intersepsi air hujan ke dalam tanah,
mengurangi transpirasi vegetasi, menurunkan kelembaban tanah, dan meningkatkan
jumlah air yang mengalir di permukaan (surface run off). Kondisi demikian
menyebabkan gambut menjadi kering dan mudah terbakar, terjadinya sedimentasi
dan perubahan kualitas air serta turunnya populasi dan keanekaragaman ikan di
perairan. Selain itu kerusakan hidrologi di lahan gambut akan menyebabkan
jangkauan intrusi air laut semakin jauh ke darat;
·
Gambut
menyimpan cadangan karbon, apabila terjadi kebakaran maka akan terjadi emisi
gas karbondioksida dalam jumlah besar. Sebagai gas rumah kaca, karbondioksida
berdampak pada pemanasan global. Berdasarkan studi ADB, kebakaran gambut 1997
menghasilkan emisi karbon sebesar 156,3 juta ton (75% dari total emisi karbon)
dan 5 juta ton partikel debu.
Kesehatan manusia
·
Ribuan
penduduk dilaporkan menderita penyakit infeksi saluran pernapasan, sakit mata
dan batuk sebagai akibat dari asap
kebakaran. Kebakaran gambut juga menyebabkan rusaknya kualitas air, sehingga
air menjadi kurang layak untuk diminum.
Aspek sosial ekonomi
·
Hilangnya
sumber mata pencaharian masyarakat yang masih menggantungkan hidupnya pada
hutan (berladang, beternak, berburu/menangkap ikan);
·
Penurunan
produksi kayu;
·
Terganggunya
kegiatan transportasi;
·
Terjadinya
protes dan tuntutan dari negara tetangga akibat dampak asap kebakaran;
·
Meningkatnya
pengeluaran akibat biaya untuk pemadaman.
Dari dampak yang terjadi tersebut, adapun upaya untuk
menangani kebakaran hutan ada dua macam, yaitu penanganan yang bersifat
represif dan penanganan yang bersifat preventif. Penanganan kebakaran hutan
yang bersifat represif adalah upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk
mengatasi kebakaran hutan setelah kebakaran hutan itu terjadi. Penanganan jenis
ini, contohnya adalah pemadaman, proses peradilan bagi pihak-pihak yang diduga
terkait dengan kebakaran hutan (secara sengaja), dan lain-lain.
Sementara
itu, penanganan yang bersifat preventif adalah setiap usaha, tindakan atau
kegiatan yang dilakukan dalam rangka menghindarkan atau mengurangi kemungkinan
terjadinya kebakaran hutan. Jadi penanganan yang bersifat preventif ini ada dan
dilaksanakan sebelum kebakaran terjadi. Selama ini, penanganan yang dilakukan
pemerintah dalam kasus kebakaran hutan, baik yang disengaja maupun tidak
disengaja, lebih banyak didominasi oleh penanganan yang sifatnya represif.
Berdasarkan data yang ada, penanganan yang sifatnya represif ini tidak efektif
dalam mengatasi kebakaran hutan..
Hal
ini terbukti dari pembakaran hutan yang terjadi secara terus menerus. Sebagai
contoh : pada bulan Juli 1997 terjadi kasus kebakaran hutan. Upaya pemadaman
sudah dijalankan, namun karena banyaknya kendala, penanganan menjadi lambat dan
efek yang muncul (seperti : kabut asap) sudah sampai ke Singapura dan Malaysia.
Sejumlah pihak didakwa sebagai pelaku telah diproses, meskipun hukuman yang
dijatuhkan tidak membuat mereka jera. Ketidakefektifan penanganan ini juga
terlihat dari masih terus terjadinya kebakaran di hutan Indonesia, bahkan pada
tahun 2008 ini.
Oleh
karena itu, berbagai ketidakefektifan perlu dikaji ulang sehingga bisa
menghasilkan upaya pengendalian kebakaran hutan yang efektif.
Menurut UU No 45 Tahun 2004, pencegahan kebakaran hutan
perlu dilakukan secara terpadu dari tingkat pusat, provinsi, daerah, sampai
unit kesatuan pengelolaan hutan. Ada kesamaan bentuk pencegahan yang dilakukan
diberbagai tingkat itu, yaitu penanggungjawab di setiap tingkat harus
mengupayakan terbentuknya fungsi-fungsi berikut ini :
1.
Mapping
: pembuatan peta kerawanan hutan di wilayah teritorialnya masing-masing. Fungsi
ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, namun yang lazim digunakan adalah 3
cara berikut:
·
pemetaan
daerah rawan yang dibuat berdasarkan hasil olah data dari masa lalu
maupun hasil prediksi.
maupun hasil prediksi.
·
pemetaan
daerah rawan yang dibuat seiring dengan adanya survai desa (Partisipatory Rural
Appraisal)
·
pemetaan
daerah rawan dengan menggunakan Global Positioning System atau citra satelit
2.
Informasi
: penyediaan sistem informasi kebakaran hutan.
Hal
ini bisa dilakukan dengan pembuatan sistem deteksi dini (early warning system)
di setiap tingkat. Deteksi dini dapat dilaksanakan dengan 2 cara berikut :
o
analisis kondisi ekologis, sosial, dan ekonomi suatu wilayah
o
pengolahan data hasil pengintaian petugas
3.
Sosialisasi
: pengadaan penyuluhan, pembinaan dan pelatihan kepada masyarakat.
Penyuluhan
dimaksudkan agar menginformasikan kepada masyarakat di setiap wilayah mengenai
bahaya dan dampak, serta peran aktivitas manusia yang
seringkali memicu dan menyebabkan kebakaran hutan. Penyuluhan juga bisa menginformasikan kepada masayarakat mengenai daerah mana saja yang rawan terhadap kebakaran dan upaya pencegahannya.
seringkali memicu dan menyebabkan kebakaran hutan. Penyuluhan juga bisa menginformasikan kepada masayarakat mengenai daerah mana saja yang rawan terhadap kebakaran dan upaya pencegahannya.
Pembinaan
merupakan kegiatan yang mengajak masyarakat untuk dapat meminimalkan
intensitas terjadinya kebakaran hutan.
Sementara,
pelatihan bertujuan untuk mempersiapkan masyarakat, khususnya yang tinggal di
sekitar wilayah rawan kebakaran hutan,untuk melakukan tindakan awal dalam
merespon kebakaran hutan.
4.
Standardisasi
: pembuatan dan penggunaan SOP (Standard Operating Procedure).
Untuk memudahkan tercapainya pelaksanaan program pencegahan kebakaran hutan maupun efektivitas dalam penanganan kebakaran hutan, diperlukan standar yang baku dalam berbagai hal berikut :
Untuk memudahkan tercapainya pelaksanaan program pencegahan kebakaran hutan maupun efektivitas dalam penanganan kebakaran hutan, diperlukan standar yang baku dalam berbagai hal berikut :
·
Metode
pelaporan
Untuk
menjamin adanya konsistensi dan keberlanjutan data yang masuk, khususnya data
yang berkaitan dengan kebakaran hutan, harus diterapkan sistem pelaporan yang
sederhana dan mudah dimengerti masyarakat. Ketika data yang masuk sudah lancar,
diperlukan analisis yang tepat sehingga bisa dijadikan sebuah dasar untuk
kebijakan yang tepat.
·
Peralatan
Standar
minimal peralatan yang harus dimiliki oleh setiap daerah harus bisa diterapkan
oleh pemerintah, meskipun standar ini bisa disesuaikan kembali sehubungan
dengan potensi terjadinya kebakaran hutan, fasilitas pendukung, dan sumber daya
manusia yang tersedia di daerah.
·
Metode
Pelatihan untuk Penanganan Kebakaran Hutan
Standardisasi
ini perlu dilakukan untuk membentuk petugas penanganan kebakaran yang efisien
dan efektif dalam mencegah maupun menangani kebakaran hutan yang terjadi.
Adanya standardisasi ini akan memudahkan petugas penanganan kebakaran untuk
segera mengambil inisiatif yang tepat dan jelas ketika terjadi kasus kebakaran
hutan
5.
Supervisi
: pemantauan dan pengawasan kepada pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan
hutan. Pemantauan adalah kegiatan untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya
perusakan lingkungan, sedangkan pengawasan adalah tindak lanjut dari hasil
analisis pemantauan. Jadi, pemantauan berkaitan langsung dengan penyediaan
data,kemudian pengawasan merupakan respon dari hasil olah data tersebut.
Pemantauan, menurut kementerian lingkungan hidup, dibagi menjadi empat, yaitu :
·
Pemantauan
terbuka : Pemantauan dengan cara mengamati langsung objek yang diamati. Contoh
: patroli hutan
·
Pemantauan
tertutup (intelejen) : Pemantauan yang dilakukan dengan cara penyelidikan yang
hanya diketahui oleh aparat tertentu.
·
Pemantauan
pasif : Pemantauan yang dilakukan berdasarkan dokumen, laporan, dan keterangan
dari data-data sekunder, termasuk laporan pemantauan tertutup.
·
Pemantauan
aktif : Pemantauan dengan cara memeriksa langsung dan menghimpun data di
lapangan secara primer. Contohnya : melakukan survei ke daerah-daerah rawan
kebakaran hutan. Sedangkan, pengawasan dapat dilihat melalui 2 pendekatan,
yaitu :
Preventif : kegiatan pengawasan untuk pencegahan
sebelum terjadinya perusakan lingkungan (pembakaran hutan). Contohnya :
pengawasan untuk menentukan status ketika akan terjadi kebakaran hutan
Represif
: kegiatan pengawasan yang bertujuan
untuk menanggulangi perusakan yang sedang terjadi atau telah terjadi serta
akibat-akibatnya sesudah terjadinya kerusakan lingkungan.
Untuk
mendukung keberhasilan, upaya pencegahan yang sudah dikemukakan diatas,
diperlukan berbagai pengembangan fasilitas pendukung yang meliputi :
1.
Pengembangan
dan sosialisasi hasil pemetaan kawasan rawan kebakaran hutan
Hasil pemetaan sebisa mungkin dibuat sampai sedetail mungkin dan disebarkan pada berbagai instansi terkait sehingga bisa digunakan sebagai pedoman kegiatan institusi yang berkepentingan di setiap unit kawasan atau daerah.
Hasil pemetaan sebisa mungkin dibuat sampai sedetail mungkin dan disebarkan pada berbagai instansi terkait sehingga bisa digunakan sebagai pedoman kegiatan institusi yang berkepentingan di setiap unit kawasan atau daerah.
2.
Pengembangan
organisasi penyelenggara Pencegahan Kebakaran Hutan
Pencegahan Kebakaran Hutan perlu dilakukan secara terpadu antar sektor, tingkatan dan daerah. Peran serta masyarakat menjadi kunci dari keberhasilan upaya pencegahan ini. Sementara itu, aparatur pemerintah, militer dan kepolisian, serta kalangan swasta perlu menyediakan fasilitas yang memadai untuk memungkinkan terselenggaranya Pencegahan Kebakaran Hutan secara efisien dan efektif.
Pencegahan Kebakaran Hutan perlu dilakukan secara terpadu antar sektor, tingkatan dan daerah. Peran serta masyarakat menjadi kunci dari keberhasilan upaya pencegahan ini. Sementara itu, aparatur pemerintah, militer dan kepolisian, serta kalangan swasta perlu menyediakan fasilitas yang memadai untuk memungkinkan terselenggaranya Pencegahan Kebakaran Hutan secara efisien dan efektif.
3.
Pengembangan
sistem komunikasi
Sistem komunikasi perlu dikembangkan
seoptimal mungkin sehingga koordinasi antar tingkatan (daerah sampai pusat)
maupun antar daerah bisa berjalan cepat. Hal ini akan mendukung
kelancaran early warning system, transfer data, dan sosialisasi
kebijakan yangberkaitan dengan kebakaran hutan
Meskipun kebijakan mengenai pengendalian kebakaran
hutan dan lahan telah banyaktersedia dan rinci, tetapi dapat dikatakan bahwa
peraturan-peraturan tersebut masih kurang memadai dan bersifat sektoral.
Peraturan tentang pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang ada pada umumnya
dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan dimana kekuatan hukumnya relatif lemah,
karena hanya dapat berlaku dalam wilayah kerja Departemen Kehutanan saja,
sementara kebakaran tidak hanya terjadi di hutan tetapi juga di lahan. Bahkan
di beberapa daerah, kebakaran cenderung diakibatkan oleh adanya penggunaan api
dalam kegiatan sektor pertanian termasuk di dalamnya yang dilakukan oleh
perusahaan perkebunan dan belakangan ini, bahkan mulai marak dilakukan dalam
kegiatan pertambangan
1.
Secara
mendasar perambahan hutan menyeybabkan ketidak seimbangan alam (kerusanan
hutan) menyebabkan terjadinya kebakaran pada lahan gambut dan bukan gambut.
Disusul oleh perkembangan pengelolaan lahan yang tidak memperhatikan
prinsip-prinsip konesrvasi dan dorongan ekonomi juga memperparah terjadinya
kebakaran lahan danhutan.
2.
Setiap
upaya peningkatan pemanfaatan lahan untuk keperluan pemenuhan kebutuhan pangan
(seperti pemanfaatan ex-lahan gambut) hendaknya difikirkan aspek konservasi
yang tidak menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan, sehingga
koordinasi vertikal dan horizontal menjadi sangat penting adanya
Provinsi Kalimantan Tengah telah
memiliki Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2003 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan
dan atau Lahan, yang melarang adanya pembakaran hutan dan atau lahan, serta
ketentuan mengenai pengendalian kebakaran. Peraturan Daerah ini juga mengatur
mengenai peningkatan kesadaran masyarakat. Pasal 23 ayat 1 menyebutkan
Gubernur/Bupati/Walikota meningkatkan kesadaran masyarakat termasuk aparatur
akan hak dan tanggungjawab serta kemampuannya untuk mencegah kebakaran hutan
dan atau lahan. Sedangkan ayat 2 menyebutkan, peningkatan kesadaran masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan mengembangkan nilai-nilai
dan kelembagaan adat serta kebiasaan-kebiasaan masyarakat tradisional yang
mendukung perlindungan hutan dan atau lahan. Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2003
ini kemudian diatur secara teknis melalui Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah
No. 78 Tahun 2005 tentang Petunjuk Teknis Pengendalian Kebakaran Hutan dan atau
Lahan di Provinsi Kalimantan Tengah. Selain itu, diterbitkannya Surat Keputusan
Gubernur Kalimantan Tengah tentang Pembentukan Pos Simpul Kendali Operasi
(Posko)
Penanggulangan Kebakaran Hutan dan
Lahan yang diperbaharui tiap tahun. Masyarakat Dayak sesungguhnya memiliki
tradisi yang kuat dalam hal pemeliharaan lingkungan dan penanggulangan
kebakaran. Falsafah hidup masyarakat Dayak yang bersumber dari simbol Batang
Garing, yang diwujudkan dalam upacara adat manyanggar dan memapas lewu
merupakan kearifan lokal dengan prinsip memelihara keseimbangan hubungan antar
manusia; hubungan manusia dengan alam semesta dan hubungan dengan Sang
Pencipta. Wujud kearifan lokal ini dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari,
yang sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Dalam kehidupan
masyarakat Dayak, hutan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, tetapi
juga untuk memenuhi fungsi ritual. Terganggunya fungsi hutan dalam kehidupan
masyarakat ini, akan mendorong munculnya konflik sosial. Terkait pemeliharaan
lingkungan dan penanggulangan kebakaran, masyarakat Dayak memiliki tradisi dan
hukum adat yang mengatur mengenai tata cara membuka lahan, yang jika
menimbulkan kebakaran secara tidak terkendali akan mendapat denda adat. Tradisi
dan hukum adat ini juga mengatur mengenai cara-cara melakukan pembersihan lahan
untuk mengatasi kebakaran secara terkendali. Sejalan dengan perkembangan zaman,
di mana makin banyak perusahaan yang membuka lahan untuk perkebunan dan
pertambangan, serta meluasnya wilayah pengembangan pertanian dan perkebunan
oleh penduduk, mendorong terjadinya peningkatan kebakaran hutan dan lahan. Pada
saat yang bersamaan, budaya dan tradisi masyarakat tidak dapat lagi secara
efektif menanggulangi kebakaran hutan dan lahan yang berlangsung dalam skala
yang sangat luas. Upaya-upaya untuk menanggulangi kebakaran ini dengan demikian
menjadi penting untuk terus dikembangkan, melalui penguatan kembali tradisi
masyarakat dan pendekatan-pendekatan modern untuk menanggulangi kebakaran.
Pelibatan masyarakat merupakan faktor kunci, karena mereka tinggal di dalam dan
di sekitar kawasan hutan dan lahan gambut yang secara cepat mendeteksi adanya
potensi kebakaran, serta secara cepat dapat menanggulangi kebakaran.
Partisipasi masyarakat ini sekaligus membangun kesadaran untuk menghindari pola
pembukaan/pembersihan lahan dengan cara membakar .Masyarakat juga didorong
untuk berpartisipasi dalam mengawasi lingkungan sekitar mereka guna menghindari
kegiatan-kegiatan yang melawan hukum, yaitu kegiatan pembukaan lahan dengan
cara membakar baik oleh perorangan nmaupun perusahaan.
3.2
Saran
1.
Perlu adanya kemauan politik (political
will), seperti melakukan investasi berupa
penelitian untuk mencari inovasi baru (teknologi tepat guna) yang dapat
digunakan untuk memberikan alternatif tidak membakar kebun/semak, seperti
teknologi Tanpa Olah Tanah (TOT) berikut alat-alat pendukungnya, teknologi
pembusukan (decomposed), teknologi pemanfaatan lahan gambut sebagai media
tanaman, dll untuk meningkatkan efisiensi dan nilai tambah produk pertanian.
2.
Perlu ada deregulasi dan sinkronisasi
peraturan-peraturan yang ada, untuk menghindari terjadinya saling melempar
tanggungjawab, khususnya status hukum kepemilikan lahan dan penggarapan lahan.
Perlu ada law enforcement secara tegas dan konsekuen terhadap para pelaku dan
pihak yang menyebabkan terjadinya kebakaran, termasuk pencegahan timbulnya
biaya transaksi (transaction cost) yang dapat menyebabkan semakin leluasanya
pihak tertentu melakukan pembakaran.
3.
Perlu difikirkan adanya instrumen
kebijakan berbasis ekonomi (economic-based policies) seperti: (a) memberikan
insentif kepada sekelompok atau seseorang yang mempu menjaga kawasannya dari
kebakaran dan memberikan disinsentif kepada yang tidak mampu menjaga kawasannya
dari kebakaran, (b) menciptakan program-program yang dapat menghambat dilakukannya
pembakaran hutan dan lahan dan menyebarluaskan kepada masyarakat, seperti
mengedepankan upaya pencegahan pembakaran dengan kredit usahatani atau kredit
ketahanan pangan (KKP), kredit P4K atau kegiatan program PRIMATANI.