Kamis, 27 November 2014

MAKALAH PENANGGULANGAN BENCANA Kebakaran Hutan Di Kalimantan Tengah

MAKALAH PENANGGULANGAN BENCANA
Kebakaran Hutan Di Kalimantan Tengah


 










Disusun oleh:
Madalena Frani Martins Gama Dias
23.1162
H2- Kebijakan Publik



INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
KAMPUS CILANDAK



Bab I
Pendahuluan

1.1       Latar Belakang
            Indonesia merupakan salah satu Negara tropis yang memiliki wilayah hutan terluas di dunia setelah Brazil dan Zaire. Hal ini merupakan suatu kebanggaan bagi bangsa Indonesia, karena dilihat dari manfaatnya sebagai paru-paru dunia, pengatur aliran air, pencegah erosi dan banjir serta dapat menjaga kesuburan tanah. Selain itu,  hutan  dapat memberikan manfaat ekonomis sebagai penyumbang devisa bagi kelangsungan pembangunan di Indonesia. Karena itu pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan. Hutan yang seharusnya dijaga dan dimanfaatkan secara optimal dengan memperhatikan aspek kelestarian kini telah mengalami degradasi dan deforestasi yang cukup mencenangkan bagi dunia Internasional, faktanya Indonesia mendapatkan rekor dunia guiness yang dirilis oleh Greenpeace sebagai negara yang mempunyai tingkat laju deforestasi tahunan tercepat di dunia, Sebanyak 72 persen dari hutan asli Indonesia telah musnah dengan 1.8 juta hektar hutan dirusakan per tahun antara tahun 2000 hingga 2005, sebuah tingkat kerusakan hutan sebesar 2% setiap tahunnya.        
Masalah kebakaran hutan telah menjadi isu nasional yang patut mendapat perhatian serius dari pemerintah. Kejadian ini terjadi setiap tahun secara berulang, khususnya di di Pulau Kalimantan. Perlu dipahami bahwa, instansi pemerintah dan masyarakat, termasuk petani, perusahaan-perusahaan perkebunan dan HTI, merupakan mata rantai yang tidak terputus yang terkait langsung dengan kebakaran hutan ini. Dampak kebakaran hutan yang paling menonjol adalah terjadinya kabut asap yang merugikan kesehatan masyarakat dan terganggunya sistem transportasi sungai, darat, laut, dan udara serta mempengaruhi sendi-sendi perekonomian lainnya.
Hal ini dikarenakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan selama ini tidak memperhatikan manfaat yang akan diperoleh dari keberadaan hutan tersebut, sehingga kelestarian lingkungan hidup menjadi terganggu. Penyebab utama kerusakan hutan adalah kebakaran hutan. Kebakaran hutan  terjadi  karena manusia yang menggunakan api dalam upaya pembukaan hutan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI), perkebunan, dan pertanian. selain itu, kebakaran didukung oleh pemanasan global, kemarau ekstrim yang seringkali dikaitkan dengan pengaruh iklim yang memberikan kondisi ideal untuk terjadinya kebakaran hutan.
Persepsi dan pendapat masyarakat yang berkembang tentang peristiwa kebakaran yang sering terjadi belakangan ini adalah bahwa kebakaran tersebut terjadinya di dalam hutan semata, padahal sesungguhnya peristiwa tersebut dapat saja terjadi di luar kawasan hutan. Seharusnya kebakaran hutan dan lahan dipandang sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam sistem pengendaliannya. Kebakaran hutan di Indonesia pada saat ini dapat dipandang sebagai peristiwa bencana regional dan global. Hal ini disebabkan karena dampak dari kebakaran hutan sudah menjalar ke negara-negara tetangga dan gas-gas hasil pembakaran yang diemisikan ke atmosfer (seperti CO2) berpotensi menimbulkan pemanasan global. Kebakaran hutan di Indonesia tidak hanya terjadi di lahan kering tetapi juga di lahan basah seperti lahan/hutan gambut seperti halnya di Kalimantan tengah, terutama pada musim kemarau, dimana lahan basah tersebut mengalami kekeringan. Pembukaan lahan gambut berskala besar dengan membuat saluran/parit telah menambah resiko terjadinya kebakaran di saat musim kemarau. Pembuatan saluran/ parit telah menyebabkan hilangnya air tanah dalam gambut sehingga gambut mengalami kekeringan yang berlebihan di musim kemarau dan mudah terbakar. Terjadinya gejala kering tak balik (irreversible drying) dan gambut berubah sifat seperti arang menyebabkan gambut tidak mampu lagi menyerap hara dan menahan air.
 1.2  Rumusan Masalah
1.      Pengertian dan manfaat hutan
2.      Kerusakan hutan dan penyebabnya terjadinya kebakaran hutan
3.      Penyebab dan dampak kebakaran hutan di Kalimantan Tengah
4.      Pencegahan dan penaggulangan kebakaran hutan di Kalimantan Tengah
1.3  Tujuan
1.      Mengetahui pengertian dan manfaat hutan di Indonesia
2.      Mengetahui penyebab kerusakan hutan yang terjadi di Kalimantan Tengah
3.      Mengetahui pengertian dan jenis-jenis kebakaran hutan
4.      Mengetahui penyebab dan dampak kebakaran hutan
5.      Mengetahui cara pencegahan dan penaggulangan kebakaran hutan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1       Pengertian Hutan
Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di wilayah-wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink), habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta pelestari tanah, dan merupakan salah satu aspek biosfer Bumi yang paling penting.
Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar di seluruh dunia. Kita dapat menemukan hutan baik di daerah tropis maupun daerah beriklim dingin, di dataran rendah maupun di pegunungan, di pulau kecil maupun di benua besar. Hutan merupakan suatu kumpulan tumbuhan dan juga tanaman, terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup luas. Pohon sendiri adalah tumbuhan cukup tinggi dengan masa hidup bertahun-tahun. Jadi, tentu berbeda dengan sayur-sayuran atau padi-padian yang hidup semusim saja. Pohon juga berbeda karena secara mencolok memiliki sebatang pokok tegak berkayu yang cukup panjang dan bentuk tajuk (mahkota daun) yang jelas. Suatu kumpulan pepohonan dianggap hutan jika mampu menciptakan iklim dan kondisi lingkungan yang khas setempat, yang berbeda daripada daerah di luarnya. Jika kita berada di hutan hujan tropis, rasanya seperti masuk ke dalam ruang sauna yang hangat dan lembap, yang berbeda daripada daerah perladangan sekitarnya. Pemandangannya pun berlainan. Ini berarti segala tumbuhan lain dan hewan (hingga yang sekecil-kecilnya), serta beraneka unsur tak hidup lain termasuk bagian-bagian penyusun yang tidak terpisahkan dari hutan. Hutan sebagai suatu ekosistem tidak hanya menyimpan sumberdaya alam berupa kayu, tetapi masih banyak potensi non kayu yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat melalui budidaya tanaman pertanian pada lahan hutan. Sebagai fungsi ekosistem hutan sangat berperan dalam berbagai hal seperti penyedia sumber air, penghasil oksigen, tempat hidup berjuta flora dan fauna, dan peran penyeimbang lingkungan, serta mencegah timbulnya pemanasan global. Sebagai fungsi penyedia air bagi kehidupan hutan merupakan salah satu kawasan yang sangat penting, hal ini dikarenakan hutan adalah tempat bertumbuhnya berjuta tanaman
Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, mendefinisikan hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi jenis pepohonan dalam persekutuan dengan lingkungannya, yang satu dengan lain tidak dapat dipisahkan. Hutan merupakan suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang hidup dalam lapisan dan permukaan tanah, yang terletak pada suatu kawasan dan membentuk suatu ekosistem yang berada dalam keadaan keseimbangan dinamis.

2.2       Manfaat Hutan
Sejak jaman nenek moyang manusia, hutan telah dijadikan sebagai lahan untuk mencari nafkah hidup. Sejak itu pula telah ada kearifan lokal manusia untuk melindungi dan melestarikan hutan dan lingkungannya sehingga hutan tetap menjadi primadona penopang kehidupan mereka.
Hutan diketahui memiliki manfaat yang langsung maupun tidak langsung bagi kehidupan manusia, seperti yang dikemukakan sebagai berikut.
1.             Manfaat langsung
a.    Sumber bahan/konstruksi bangunan (rumah, jembatan, kapal, perahu, bantalan kereta api, tiang listrik, plywood, particle board, panel-panel dll).
b.    Sumber bahan pembuatan perabot rumah (meubel, ukiran, piring, senduk, mangkok dll).
c.    Sumber bahan pangan (sagu, umbian, sayuran, dll).
d.   Sumber protein (madu, daging, sarang burung, dll).
e.    Sumber pendukung fasilitas pendidikan (pinsil dan kertas).
f.     Sumber bahan bakar (kayu api, arang dll).
g.    Sumber oksigen (pernapasan manusia, respirasi hewan)
h.    Sumber pendapatan (penjualan hasil hutan kayu dan non kayu)
i.      Sumber obat-abatan (daun, kulit, getah, buah/biji)
j.      Habitat satwa (makan, minum, main, tidur) 
2.       Manfaat tidak langsung

a.  Pengatur sistem tata air (debit air, erosi, banjir, kekeringan)
b.  Kontrol pola iklim (suhu, kelembaban, penguapan)
c.  Kontrol pemanasan bumi
d.  Ekowisata (rekreasi, berburu, camping dll)
e.  Laboratorium plasma nutfah (taman nasional, kebun raya dll)
f.  Pusat pendidikan dan penelitian
g.  Sumber bahan pendukung industri-industri kimia (pewarna, terpen, kosmetik, obat-obatan, tekstil dll).
h.  Menghasilkan devisa lewat program
CDM dan REDD.
              Hutan merupakan suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang hidup dalam lapisan dan permukaan tanah, yang terletak pada suatu kawasan dan membentuk suatu ekosistem yang berada  dalam keadaan keseimbangan dinamis. Dengan demikian berarti berkaitan dengan proses-proses yang berhubungan yaitu:
1.      Hidrologis,
artinya hutan merupakan gudang penyimpanan air dan tempat menyerapnya air hujan maupun embun yang pada akhirnya akan mengalirkannya ke sungai-sungai yang memiliki mata air di tengah-tengah hutan secara teratur menurut irama alam. Hutan juga berperan untuk melindungi tanah dari erosi dan daur unsur haranya.
2.      Iklim,
artinya komponen ekosistern alam yang terdiri dari unsur-unsur hujan (air), sinar matahari (suhu), angin dan kelembaban yang sangat mempengaruhi kehidupan yang ada di permukaan bumi, terutama iklim makro maupun mikro.
3.      Kesuburan tanah.
artinya tanah hutan merupakan pembentuk humus utama dan penyimpan unsur-unsur mineral bagi tumbuhan lain. Kesuburan tanah sangat ditentukan oleh faktor-faktor seperti jenis batu induk yang membentuknya, kondisi selama dalam proses pembentukan, tekstur dan struktur tanah yang meliputi kelembaban, suhu dan air tanah, topografi wilayah, vegetasi dan jasad jasad hidup. Faktor­-faktor inilah yang kelak menyebabkan terbentuknya bermacam-macam formasi hutan dan vegetasi hutan.
4.      Keanekaragaman genetic.
Artinya hutan memiliki kekayaan dari berbagai jenis flora dan fauna. Apabila hutan tidak diperhatikan dalam pemanfaatan dan kelangsungannya, tidaklah mustahil akan terjadi erosi genetik. Hal ini terjadi karena hutan semakin berkurang habitatnya.
5.      Sumber daya alam.
Artinya hutan mampu memberikan sumbangan hasil alam yang cukup besar bagi devisa negara, terutama di bidang inciustri. Selain itu hutan juga memberikan fungsi kepada masyarakat sekitar hutan sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Selain kayu juga dihasilkan bahan lain seperti damar, kopal, gondorukem, terpentin, kayu putih dan rotan serta tanaman obat-obatan.
6.      Wilayah wisata alam.
 Artinya hutan mampu berfungsi sebagai sumber inspirasi, nilai estetika, etika dan sebagainya.
Penyelenggaraan kehutanan tersebut bertujuan untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan:
  1. menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional;
  2. mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari;
  3. meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai;
  4. meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan
  5. menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Sampai saat ini manusia tergantung dari hutan bahkan semakin dirasakan manfaatnya terutama, Hutan merupakan paru-paru dunia (planet bumi) sehingga perlu kita jaga karena jika tidak maka hanya akan membawa dampak yang buruk bagi kita di masa kini dan masa yang akan datang.
1. Manfaat/Fungsi Ekonomi
- Hasil hutan dapat dijual langsung atau diolah menjadi berbagai barang yang bernilai tinggi.
- Membuka lapangan pekerjaan bagi pembalak hutan legal.
- Menyumbang devisa negara dari hasil penjualan produk hasil hutan ke luar negeri.

2. Manfaat/Fungsi Klimatologis
- Hutan dapat mengatur iklim
- Hutan berfungsi sebagai paru-paru dunia yang menghasilkan oksigen bagi kehidupan.

3. Manfaat/Fungsi Hidrolis
- Dapat menampung air hujan di dalam tanah
- Mencegah intrusi air laut yang asin
- Menjadi pengatur tata air tanah

4. Manfaat/Fungsi Ekologis
- Mencegah erosi dan banjir
- Menjaga dan mempertahankan kesuburan tanah
- sebagai wilayah untuk melestarikan kenaekaragaman hayati
2.3       Pengertian dan Definisi Kebarakan Hutan
Kebakaran hutan merupakan suatu faktor lingkungan  dari api yang memberikan pengaruh terhadap hutan, menimbulkan dampak negatif maupun positif. kebakaran hutan yang terjadi adalah akibat ulah manusia maupun faktor alam. Penyebab kebakaran hutan yang terbanyak karena tindakan dan kelalaian manusia. Ada yang menyebutkan hampir 90% kebakaran hutan  disebabkan oleh manusia sedangkan hanya 10% yang disebabkan oleh alam. Pengertian dan definisi lain yang diberikan untuk Kebakaran Hutan adalah suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga berakibat timbulnya kerugian ekosistem dan terancamnya kelestarian lingkungan. Upaya pencegahan Kebakaran Hutan merupakan suatu usaha Perlindungan Hutan agar kebakaran hutan yang berdampak negatif tidak meluas.
Menurut Kamus Kehutanan, Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Kebakaran Hutan (Wild Fire Free Burning, Forest Fire) didefinisikan sebagai :
  1. Kebakaran yang tidak disebabkan oleh unsur kesengajaan yang mengakibatkan kerugian. Kebakaran terjadi karena faktor-faktor:
    • alam (misalnya musim kemarau yang terlalu lama)
    • manusia (misalnya karena kelalaian manusia membuat api di tengah-tengah hutan di musim kemarau atau di hutan-hutan yang mudah terbakar.
  2. Bentuk Kerusakan Hutan yang disebabkan oleh api di dalam areal hutan negara.
Istilah Kebakaran hutan di dalam Ensiklopedia Kehutanan Indonesia disebut juga Api Hutan. Selanjutnya dijelaskan bahwa Kebakaran Hutan atau Api Hutan adalah Api Liar yang terjadi di dalam hutan, yang membakar sebagian atau seluruh komponen hutan. Dikenal ada 3 macam kebakaran hutan, Jenis-jenis kebakaran hutan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
  1. Api Permukaan atau Kebakaran Permukaan yaitu kebakaran yang terjadi pada lantai hutan dan membakar seresah, kayu-kayu kering dan tanaman bawah. Sifat api permukaan cepat merambat, nyalanya besar dan panas, namun cepat padam. Dalam kenyataannya semua tipe kebakaran berasal dari api permukaan.
  2. Api Tajuk atau Kebakaran Tajuk yaitu kebakaran yang membakar seluruh tajuk tanaman pokok terutama pada jenis-jenis hutan yang daunnya mudah terbakar. Apabila tajuk hutan cukup rapat, maka api yang terjadi cepat merambat dari satu tajuk ke tajuk yang lain. Hal ini tidak terjadi apabila tajuk-tajuk pohon penyusun tidak saling bersentuhan.
  3. Api Tanah adalah api yang membakar lapisan organik yang dibawah lantai hutan. Oleh karena sedikit udara dan bahan organik ini, kebakaran yang terjadi tidak ditandai dengan adanya nyala api. Penyebaran api juga sangat lambat, bahan api tertahan dalam waktu yang lama pada suatu tempat.
Kebakaran dan Pembakaran
Kebakaran dan pembakaran merupakan sebuah kata dengan kata dasar yang sama tetapi mempunyai makna yang berbeda. Kebakaran indentik dengan kejadian yang tidak disengaja sedangkan pembakaran identik dengan kejadian yang sengaja diinginkan tetapi tindakan pembakaran dapat juga menimbulkan terjadinya suatu kebakaran. Penggunaan istilah kebakaran hutan dengan pembakaran terkendali merupakan suatu istilah yang berbeda. Penggunaan istilah ini sering kali mengakibatkan timbulnya persepsi yang salah terhadap dampak yang ditimbulkannya.
Kebakaran-kebakaran yang sering terjadi digeneralisasi sebagai kebakaran hutan, padahal sebagian besar (99,9%) kebakaran tersebut adalah pembakaran yang sengaja dilakukan maupun akibat kelalaian, baik oleh peladang berpindah ataupun oleh pelaku binis kehutanan atau perkebunan, sedangkan sisanya (0,1%) adalah karena alam (petir, larva gunung berapi). Saharjo (1999) menyatakan bahwa baik di areal HTI, hutan alam dan perladangan berpindah dapat dikatakan bahwa 99% penyebab kebakaran hutan di Indonesia adalah berasal dari ulah manusia, entah itu sengaja dibakar atau karena api lompat yang terjadi akibat kelalaian pada saat penyiapan lahan. Bahan bakar dan api merupakan faktor penting untuk mempersiapkan lahan pertanian dan perkebunan (Saharjo, 1999). Pembakaran selain dianggap mudah dan murah juga menghasilkan bahan mineral yang siap diserap oleh tumbuhan. Banyaknya jumlah bahan bakar yang dibakar di atas lahan akhirnya akan menyebabkan asap tebal dan kerusakan lingkungan yang luas. Untuk itu, agar dampak lingkungan yang ditimbulkannya kecil, maka penggunaan api dan bahan bakar pada penyiapan lahan haruslah diatur secara cermat dan hati-hati. Untuk menyelesaikan masalah ini maka manajemen penanggulangan bahaya kebakaran harus berdasarkan hasil penelitian dan tidak lagi hanya mengandalkan dari terjemahan textbook atau pengalaman dari negara lain tanpa menyesuaikan dengan keadaan lahan di Indonesia (Saharjo, 2000).

2.4       Penyebab dan dampak kebakaran hutan di Kalimantan Tengah
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia meningkat selama sepuluh tahun terakhir ini, sebagian besar disebabkan oleh ulah manusia (yang disengaja atau karena lalai) juga karena kondisi yang sangat kering sebagai pengaruh terjadinya perubahan iklim global/makro yang melanda wilayah Indonesia.
·        Unsur iklim/cuaca.
Kebakaran hutan dan lahan, dapat pula terjadi pada musim hujan yang disebabkan karena kejadian alam yaitu halilintar/petir menyambar pohon yang bertajuk dalam keadaan basah (pohon pinus) sehingga menimbulkan kebakaran tajuk yang hebat pada hutan pinus. Dengan adanya iklim ekstrim seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu di Kalimantan Tengah dimana musim kemarau dan penghujan tidak menentu yaitu bila musim kemarau/kering tiba dan sangat panas yang memungkinkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan, sebaliknya bila musim hujan terjadi longsor dan banjir. Beberapa unsur penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan adalah panas, bahan bakar dan udara/oksigen. Pada prinsipnya, pengendalian kebakaran hutan dan lahan adalah menghilangkan salah satu atau lebih dari unsur-unsur tersebut. Penyebaran api bergantung kepada bahan bakar/vegetasi tanaman dan cuaca. Bahan bakar berat seperti log, tonggak dan cabang-cabang kayu dalam keadaan kering bisa terbakar, meski lambat tetapi menghasilkan panas yang tinggi. Bahan bakar ringan seperti rumput, ranting kering, daun-daun pinus dan serasah, mudah terbakar dan cepat menyebar, yang selanjutnya dapat menyebabkan kebakaran hutan/lahan yang besar.
Unsur-unsur cuaca yang penting yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan adalah angin, kelembaban dan suhu. Angin yang bertiup kencang meningkatkan pasokan udara sehingga mempercepat penyebaran api. Pada kasus kebakaran besar, angin bersifat simultan. Semakin besar kebakaran, tiupan angin semakin kencang akibat perpindahan massa udara padat di sekitar kebakaran ke ruang udara renggang di tempat kebakaran. Kadar air/kelembaban bahan bakar juga penting untuk dipertimbangkan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Pada keadaan normal, api menyala perlahan pada malam hari karena kelembaban udara diserap oleh bahan bakar. Udara yang lebih kering pada siang hari dapat menyebabkan kebakaran yang cepat. Oleh sebab itu, secara teknis pada malam hari akan lebih mudah mengendalikan kebakaran hutan/lahan daripada siang hari.
·        Ulah manusia
Dalam banyak kasus, kebakaran hutan juga berawal dari kesengajaan manusia melakukan pembakaran hutan dan lahan yang akan dipergunakan untuk hutan tanaman industri (HTI), perkebunan, ladang, penggembala/pemburu yang ingin merangsang tumbuhnya rumput, pengusir lebah dari sarangnya oleh peternak lebah/pengumpul madu dan para perambah hutan. Pembakaran juga dilakukan pada lahan pertanian/perkebunan untuk membersihkan daun kering tanaman, sisa-sisa panen serta limbah tanaman pada calon lokasi lahan perkebunan/pertanian dalam kegiatan persiapan lahan. Karena kebakaran biasanya dilakukan pada musim kemarau dan kurang diawasi sehingga api mudah merambat kekawasan hutan dan lahan sekitar yang menyebabkan kerugian baik ekologis maupun ekonomis.
·        Konflik social.
Penyebab sosial, umumnya berawal dari suatu konflik antara para pemilik modal industri perkayuan maupun pertambangan, dengan penduduk asli yang merasa kepemilikan tradisional (adat) mereka atas lahan, hutan dan tanah dikuasai oleh para investor yang diberi pengesahan melalui hukum positif negara. Akibatnya kekesalan masyarakat dilampiaskan dengan melakukan pembakaran demi mempertahankan lahan yang telah mereka miliki secara turun temurun. Pada situasi seperti ini, masalah kemiskinan dan ketidak adilan menjadi pemicu kebakaran hutan dan masyarakat tidak akan mau berpartisipasi untuk memadamkannya.
Ex. Kebakaran Hutan Yang Terjadi di Kalimantan Tengah
Saturday, 04 October 2014, 14:36 WIB
PALANGKARAYA, KOMPAS.com --Pemerintah Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah, untuk sementara meliburkan seluruh aktivitas sekolah sejak Jumat (3/10). Kebijakan itu dipicu polusi udara akibat asap yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan yang sudah mencapai level berbahaya.
"Siswa sekolah semua tingkatan mulai hari ini sampai dengan Senin (6/10) diliburkan," kata Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Palangka Raya Norma Hikmah di Palangka Raya, kemarin. Ia meng ungkapkan, surat edaran resmi dari Wali Kota Palangka Raya Nomor 394 Tahun 2014 sudah diberikan ke masing-masing sekolah.
Wali Kota Palangka Raya HM Riban Satia juga mengingatkan seluruh peserta didik yang ada di wilayah Palangka Raya untuk tidak melakukan aktivitas berlebihan di luar sekolah. "Peserta didik diharap kan selalu memakai masker (penutup hidung) apabila melakukan aktivitas, baik di luar sekolah dan se bagainya. Dan, tidak diperkenankan kegiatan belajar mengajar di luar ruang kelas," kata Riban Satia.
Sementara itu, Polda Jambi mem bentuk tim khusus untuk meng antisipasi kebakaran lahan dan hutan serta untuk mengatasi kabut asap yang kian pekat mencemari udara. Kapolda Jambi Brigjen Bambang Sudarisman mengatakan, tim terpadu ini dibentuk mulai dari tingkat polda hingga polres. Selain polisi, tim terpadu ini juga akan melibatkan TNI serta instansi terkait lainnya.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, titik panas (hotspot) masih tersebar di brbagai daerah. "Di Kali mantan Tengah dan Sumatra Selatan, hotspotsulit mati karena pembakaran masih terus dilakukan," ujarnya, Kamis (2/10).
Kepala BNPB Syamsul Maarif telah memerintahkan para deputi BNPB untuk mendampingi BPBD melakukan pemadaman titik api.
BNPB telah mengerahkan 2.200 personel TNI dan 1.050 personel Polri untuk membantu BPBD, Manggala Agni, dalam pemadaman darat. Satgas udara, BNPB, bersama BPBD saat ini masih melakukan water bombingdari udara dan melakukan modifikasi cuaca di Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimatan Barat, dan Kalimantan Tengah.
rep:Dyah Ratna Meta Novia
/antara, ed:fitriyan zamzami


 















Kutipan berita di atas merupakan salah satu bencana yang baru-baru ini terjadi di Kalimantan Tengah.  Pada saat kebakaran yang tidak diinginkan merusak hutan dan aset lainnya, masyarakat lokal seringkali dianggap dan dicurigai sebagai penyebab karena mereka membakar hutan sewaktu menyiapkan lahan untuk kegiatan pertanian. Kalaupun tidak dipersalahkan, masyarakat lokal cenderung dipandang sebagai korban yang tidak berdaya, yang harus menanggung dampak negatif dari kebakaran hutan dan/atau lahan. Berbagai penelitian yang dilakukan di seluruh dunia menunjukkan bahwa persepsi ini perlu ditinjau kembali karena masyarakat lokal melakukan pengelolaan kebakaran dalam berbagai situasi dan untuk berbagai alasan yang berbeda. Bahkan masyarakat lokal seringkali menjadi yang terbaik dalam mengelola atau mencegah kebakaran pada skala lokal. Masyarakat lokal pun mempunyai peran yang semakin penting dalam manajemen kebakaran di negara-negara yang pemerintahannya memiliki keterbatasan untuk menangani kebakaran hutan.
Keberhasilan pelibatan masyarakat dalam manajemen kebakaran bergantung pada berbagai faktor. Motivasi masyarakat untuk mengelola kebakaran dipengaruhi oleh seberapa besar ketergantungan mereka dan/atau hak yang mereka miliki untuk menggunakan dan memiliki akses terhadap sumber-sumber daya hutan. Meskipun demikian, penting untuk disadari bahwa masyarakat tidak dapat memberikan solusi lengkap dalam menangani kebakaran hutan yang berbahaya. Pihak-pihak lain yang terlibat, termasuk pemerintah dan sektor swasta, harus ikut memainkan peranan penting, khususnya dalam persiapan menghadapi dan memadamkan kebakaran yang luas. Berkaitan dengan penggunaan api untuk pertanian oleh masyarakat, perlu dibedakan antara api yang bermanfaat dan api yang membahayakan. Bagi masyarakat, api merupakan satu-satunya alat yang tersedia untuk menyiapkan lahan. Penggunaan api biasanya mampu dikendalikan dan skalanya pun kecil. Perlu dipahami bahwa api menjadi masalah jika penggunaannya lepas kendali.
Kebakaran hutan yang tidak disengaja berawal dari musim panas yang berkepanjangan. Pada musim panas sumber-sumber air menjadi kering termasuk hutan terjadi kehilangan air karena proses evapotranspirasi. Batang, ranting, dan daun yang kering merupakan sumber bahan bakar yang potensial untuk terjadinya kebakaran hutan. Bila ada pemicu seperti terjadinya gesekan antara batang atau ranting pohon akan menimbulkan api, kemudian kebakaran akan menyebarluas dengan cepat. Hal ini menjadi lebih parah jika terjadi pada lahan-lahan gambut seperti beberapa daerah di Indonesia. Seperti Kebakaran hutan di Kalimantan Tengah yang mempunyai lahan gambut. Gambut merupakan batu bara muda sumber bahan bakar yang potensial bila terjadinya kebakaran hutan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kebakaran hutan seperti :
  • Bahan bakar (ukuran, susunan, volume, jenis, kandungan air/kimia)
  • Cuaca (angin, suhu udara, curah hujan, tanah, kelembaban nisbi)
  • Waktu (21.00-06.00 lambat)
  • Topografi (kemiringan, arah lereng, medan)
  • Proses Kebakaran yang berperan didalamnya seperti : udara, bahan bakar dan panas (suhu tinggi) menimbulkan nyala Api menjalar
  • Penyebaran kebakaran dan panas yang terjadi melalui konduksi, radiasi, dan konveksi.
Kebakaran merupakan faktor ekologi potensial yang mempengaruhi hampir seluruh ekosistem darat, walaupun hanya terjadi pada frekwensi yang kecil. Pengaruh api terhadap ekosistem ditentukan oleh frekwensi, intensitas dan tipe kebakaran yang terjadi serta kondisi lingkungan. Api yang terjadi di dalam hutan dapat menimbulkan kerusakan yang besar, tetapi dalam kondisi tertentu pembakaran dapat memberikan manfaat dalam pengelolaan hutan.
Kebakaran hutan merusak hampir seluruh komponen hutan, sehingga tujuan pengelolaan dan fungsi hutan tidak tercapai. Asap tebal yang terjadi akibat kebakaran hutan juga menimbulkan gangguan terhadap kehidupan yang lebih luas. Luka-luka pada pohon dan pohon-pohon yang lemah akibat kebakaran memberikan peluang lebih tinggi kepada penyebab kerusakan lain terutama hama dan penyakit.

Dampak kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan Tengah
Kebakaran hutan/lahan gambut secara nyata berpengaruh terhadap terdegradasinya kondisi
lingkungan, kesehatan manusia dan aspek sosial ekonomi bagi masyarakat.
1.             Terdegradasinya kondisi lingkungan
·         Perubahan kualitas fisik gambut (penurunan porositas total, penurunan kadar air tersedia, penurunan permeabilitas dan meningkatnya kerapatan lindak);
·         Perubahan kualitas kimia gambut (peningkatan pH, kandungan N-total, kandungan fosfor dan kandungan basa total yaitu Kalsium, Magnesium, Kalium, dan Natrium, tetapi terjadi penurunan kandungan C-organik);
·         Terganggunya proses dekomposisi tanah gambut karena mikroorganisme yang mati akibat kebakaran;
·         Suksesi atau perkembangan populasi dan komposisi vegetasi hutan juga akan terganggu (benih-benih vegetasi di dalam tanah gambut rusak/terbakar) sehingga akan menurunkan keanekaragaman hayati;
·         Rusaknya siklus hidrologi (menurunkan kemampuan intersepsi air hujan ke dalam tanah, mengurangi transpirasi vegetasi, menurunkan kelembaban tanah, dan meningkatkan jumlah air yang mengalir di permukaan (surface run off). Kondisi demikian menyebabkan gambut menjadi kering dan mudah terbakar, terjadinya sedimentasi dan perubahan kualitas air serta turunnya populasi dan keanekaragaman ikan di perairan. Selain itu kerusakan hidrologi di lahan gambut akan menyebabkan jangkauan intrusi air laut semakin jauh ke darat;
·         Gambut menyimpan cadangan karbon, apabila terjadi kebakaran maka akan terjadi emisi gas karbondioksida dalam jumlah besar. Sebagai gas rumah kaca, karbondioksida berdampak pada pemanasan global. Berdasarkan studi ADB, kebakaran gambut 1997 menghasilkan emisi karbon sebesar 156,3 juta ton (75% dari total emisi karbon) dan 5 juta ton partikel debu.
2.        Kesehatan manusia
·           Ribuan penduduk dilaporkan menderita penyakit infeksi saluran pernapasan, sakit mata dan  batuk sebagai akibat dari asap kebakaran. Kebakaran gambut juga menyebabkan rusaknya kualitas air, sehingga air menjadi kurang layak untuk diminum.
3.        Aspek sosial ekonomi
·           Hilangnya sumber mata pencaharian masyarakat yang masih menggantungkan hidupnya pada hutan (berladang, beternak, berburu/menangkap ikan);
·           Penurunan produksi kayu;
·           Terganggunya kegiatan transportasi;
·           Terjadinya protes dan tuntutan dari negara tetangga akibat dampak asap kebakaran;
·           Meningkatnya pengeluaran akibat biaya untuk pemadaman.

Penyebab kebakaran hutan di Kalimantan Tengah
Lebih dari 99% penyebab kebakaran hutan dan lahan gambut adalah akibat ulah manusia, baik yang sengaja melakukan pembakaran ataupun akibat kelalaian dalam menggunakan api. Hal ini didukung oleh kondisi-kondisi tertentu yang membuat rawan terjadinya kebakaran, seperti gejala El Nino, kondisi fisik gambut yang terdegradasi dan rendahnya kondisi sosial ekonomi masyarakat.

1.        Unsur iklim/cuaca.
        Kebakaran hutan dan lahan, dapat pula terjadi pada musim hujan yang disebabkan karena kejadian alam yaitu halilintar/petir menyambar pohon yang bertajuk dalam keadaan basah (pohon pinus) sehingga menimbulkan kebakaran tajuk yang hebat pada hutan pinus. Dengan adanya iklim ekstrim seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu di Kalimantan Tengah dimana musim kemarau dan penghujan tidak menentu yaitu bila musim kemarau/kering tiba dan sangat panas yang memungkinkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan.

2.        Penyebab kebakaran oleh manusia dapat dirinci sebagai berikut:
a.       Pembakaran vegetasi. Kebakaran yang disebabkan oleh api yang berasal dari pembakaran vegetasi yang disengaja tetapi tidak dikendalikan pada saat kegiatan, misalnya dalam pembukaan areal HTI dan perkebunan serta penyiapan lahan pertanian oleh masyarakat.
b.       Aktivitas dalam pemanfaatan sumber daya alam. Kebakaran yang disebabkan oleh api yang berasal dari aktivitas manusia selama pemanfaatan sumber daya alam, misalnya pembakaran semak belukar yang menghalangi akses mereka dalam pemanfaatan sumber daya alam serta pembuatan api untuk memasak oleh para penebang liar dan pencari ikan di dalam hutan. Keteledoran mereka dalam memadamkan api dapat menimbulkan kebakaran.
c.       Penguasaan lahan. Api sering digunakan masyarakat lokal untuk memperoleh kembali hak-hak mereka atas lahan.
3.        Penyebab konflik social yang pada umumnya berawal dari suatu konflik antara para pemilik modal industri perkayuan maupun pertambangan, dengan penduduk asli yang merasa kepemilikan tradisional (adat) mereka atas lahan, hutan dan tanah dikuasai oleh para investor yang diberi pengesahan melalui hukum positif negara. Akibatnya kekesalan masyarakat dilampiaskan dengan melakukan pembakaran demi mempertahankan lahan yang telah mereka miliki secara turun temurun.

Faktor pendukung kerawanan terjadinya kebakaran hutan di Kaliamnatan Tengah
1.        Kerawanan terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut tertinggi terjadi pada musim kemarau dimana curah hujan sangat rendah dan intensitas panas matahari tinggi. Kondisi ini pada umumnya terjadi antara bulan Juni hingga Oktober dan kadang pula terjadi pada bulan Mei sampai November. Kerawanan kebakaran semakin tinggi jika ditemukan adanya gejala El Nino;
2.        Pembuatan kanal-kanal dan parit di lahan gambut telah menyebabkan gambut mengalami pengeringan yang berlebihan di musim kemarau dan mudah terbakar;
3.        Areal rawa gambut merupakan lahan yang miskin hara dan tergenang air setiap tahunnya, sehingga kurang layak untuk pertanian. Untuk

2.5       Pencegahan dan penaggulangan kebakaran hutan di Kalimantan Tengah
A.       Peran Pemerintah
Penanganan Kebakaran hutan, lahan dan kebun menjadi sorotan di dalam negeri tapi juga dunia luar. Dalam penanganan Kebakaran hutan, lahan dan kebun permerintah Republik Indonesia telah melakukan upaya-upaya peningkatan efektivitas kesiapsiagaan terhadap bencana kebakaran hutan, lahan dan kebun. Untuk kesiapsiagaan bencana kebakaran hutan dan lahan wilayah Kalimantan pada tanggal 31 Juli 2013 sudah dilaksanakan Rapat Koordinasi Siaga Darurat Bencana Kebakaran Lahan dan Hutan Wilayah Kalimantan. Rapat dihadiri segenap stakeholder dan kementerian terkait diantaranya Gubernur Kalimantan Tengah, Kepala BNPB, Deputi I Menkokesra Bidang Lingkungan Hidup dan Kerawanan Sosial, perwakilan dari BPPT, Kemenhut, Kementan, BMKG, TNI, POLRI, dan perwakilan dari Provinsi Kalbar, Kalsel, Kaltim serta dihadiri oleh Bupati se Kalimantan Tengah.
Rapat koordinasi tersebut menghasilkan beberapa langkah aksi penting guna memasuki musim kemarau dimana posko di daerah rawan kebakaran harus segera bergerak agar dapat mengantisipasi kebakaran yang meluas dan mencegah dampak asap yang dapat ditimbulkan. Saat ini baik sarana/prasarana dan regu/personel dari berbagai elemen sudah siap di posko Kalimantan Tengah.
Berikut lokasi Posko darurat kebakaran:
·         Landasan Udara Halim Perdana Kusuma untuk wilayah Pusat
·         Provinsi Sumatera Selatan untuk wilayah Sumatera
·         Provinsi Kalimantan Tengah untuk wilayah Kalimantan
Pada tingkat Internasional terutama di tingkat ASEAN dalam penanganan Kebakaran Hutan Lahan dan Kebun telah dilaksanakan pertemuan Ministerial Steering Commite (MSC) ke-2 Technical Task Force (MTTF),  dan pertemuan  ASEAN Sub-Regional Technical Working Group (TWG) on Transboundary Haze Pollution ke-15 di Kuala Lumpur, Malaysia 15 – 17 Juli 2013.
Pertemuan tersebut membahas tentang rencana aksi Indonesia dalam menangani bencana kebakaran dan asap lintas batas serta pengembangan teknologi monitoring hotspot.Dalam pertemuan tersebut Indonesia menyampaikan upaya-upaya nyata dalam pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan yang berakibat terjadinya asap lintas batas di Provinsi Riau. Upaya-upaya tersebut, antara lain:
-     Melakukan monitoring hot spot harian di seluruh wilayah Indonesia, khususnya di 9 (sembilan) provinsi rawan kebakaran yaitu di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
-     Diseminasi informasi kepada seluruh pemangku kepentingan.
-     Pembentukan satgas penanggulangan kebakaran hutan dan lahan serta bencana asap di 9 (sembilan) provinsi rawan kebakaran. termasuk pendirian pusat komando bencana kebakaran dan asap lintas batas di Landasan udara Halim Perdana Kusuma.
-     Melaksanakan tanggap darurat nasional dengan pengerahan personel TNI, POLRI, BNPB/BPBD, Manggala Agni. Membangun partisipasi masyarakat dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Untuk memberikan efek jera kepada pelaku pembakaran hutan dan lahan dilakukan penegakkan hukum secara serius dan terpadu.
Proses ratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP), saat ini telah sampai pada tahap pengajuan kembali ke DPR untuk mendapat persetujuan. Walaupun proses ratifikasi sedang dilakukan, Indonesia sudah melaksanakan pokok-pokok yang tertuang dalam AATPH tersebut
Sebagai tindak lanjut upaya penanganan Kebakaran hutan, lahan dan kebun dilaksanakan Rakor Menteri Tentang Tindak Lanjut Penanggulangan Bencana Asap Akibat Kebakaran Lahan dan Hutan tanggal 27 Juni 2013 di Kementerian Kehutanan. Terdapat 2 (dua) agenda yang dibahas dalam pertemuan tersebut. Agenda yang pertama adalah pembentukan satgas pengendalian kebakaran hutan dan lahan serta Bencana asap di 8 Provinsi, dilanjutkan dengan agenda yang kedua yaitu evaluasi penanganan kebakaran hutan dan lahan serta bencana asap di Provinsi Riau.
Dalam rapat tersebut juga dibahas permasalahan yang timbul dalam upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan, antara lain:
  1. Dibutuhkan volume air yang sangat banyak untuk pemadaman kebakaran di lahan gambut, sedangkan kejadian kebakaran terjadi pada saat musim kemarau dengan ketersediaan air yang terbatas.
  2. Pemerintah Daerah tidak memiliki pasukan dan sarana prasarana yang memadai untuk pemadaman kebakaran lahan dan kebun. Selama ini Manggala Agni yang bertugas memadamkan kebakaran di kawasan hutan dijadikan ujung tombak dalam pemadaman kebakaran lahan dan kebun. Pada pertemuan tersebut juga disepakati pembentukan brigade pengendalian kebakaran lahan dan kebun.
Rapat koordinasi menghasilkan beberapa rumusan yang perlu ditindaklanjuti dalam upaya penanganan kebakaran hutan, lahan dan kebun, diantaranya adalah:
1.      Perlunya mengalokasikan anggaran (APBN/APBD) yang memadai dalam upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di sekitar kementrIAN / LEMBAGA.
2.      Perlu segera dibentuk SKPD yangkhusus menangani kebakaran hutan dan lahan yang memiliki sumbsr daya, sarana, prasarana, dan pemberdayaan yang memadai di kabupaten/kota yang rawan kebakaran.
3.      Diperkirakan puncak musim kemarau terjadi pada Bulan Agustus sampai September 2013 untuk itu perlu segera dilakukan sosialisasi kepada pemda dan masyarakat. Sosialisasi dilakukan di 7 (tujuh) provinsi lain yang diperkirakan akan terjadi kebakaran lahan dan hutan.
4.      Dalam upaya kesiapsiagaan ke depan perlu penyediaan pesawat untuk water bombing dan penyemai hujan. Karena itu rapat menyetujui agar BNPB melakukan usulan inisiatif baru untuk mendukung kesiapsiagaan tersebut.
5.      Dalam rangka pelaksanaan Inpres No. 16 Tahun 2011 Tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan perlu dibuat masterplan terpadu lintas Kementerian dengan anggaran satu pintu, dimana BNPB diharapkan dapat menjadi leading sektor.
Demikian serangkaian Kegiatan upaya peningkatan efektivitas penanganan kebakaran hutan. Lahan dan kebun yang telah dilaksanakan baik oleh Kementerian Pertanian bersamaan dengan kementerian lembaga terkait

Dalam menindak lanjuti hal tersebut diatas, Jakarta pada tanggal 17 April 2014. Berdasarkan prediksi Fire Danger Rating System(FDRS) dan curah hujan yang menurun yang diinfokan oleh  Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), maka kebakaran lahan dan hutan berpotensi terjadi pada 8 Provinsi rawan (Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan). Kebakaran tersebut berpeluang  lebih menyebar dalam periode yang lebih panjang, karena dipicu oleh fenomena el nino sedang. Untuk itu Kementerian Lingkungan Hidup menyelenggarakan Lokakarya Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 16 -17 April 2014. Beberapa isu terkait pencegahan karhutla dan operasionalisasinya dibahas pada lokakarya ini, diantaranya :
1.        Penguatan kapasitas Masyarakat Peduli APi (MPA) dalam pencegahan karhutla di daerah rawan karhutla untuk bergerak aktif terlibat dalam pencegahan dan penanggulangan karhutla seperti patroli dan pemadaman dini.
2.        Peningkatan kemampuan  pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB) khususnya di lahan gambut dan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan lahan gambut berkelanjutan.
3.        Mengembangkan desa bebas asap.
4.        Menyebarluaskan dan mengopersionalkan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) dan Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran (SPBK) sebagai kriteria kesiapsiagaan di tingkat lokasi kejadian kebakaran hutan dan lahan
5.        Melakukan sosialisasi dan kampanye.
6.        Audit lingkungan terhadap perusahaan yang terindikasi tidak taat terhadap peraturan perundangan di bidang lingkungan hidup.
7.        Pemberian insentif untuk implementasi pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB).
8.        Menentukan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan.
9.        Memetakan lahan konsesi perusahaan kehutanan dan perkebunan.
10.    Memperkuat implementasi sistem peringatan dini.

Dalam arahan nya pada lokakarya tersebut, Menteri Lingkungan Hidup, Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA, mengatakan,”Perlu diperhatikan tiga hal dan upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan yaitu adanya early warning system yang baik, pelibatan masyarakat dalam penanganganan kebakaran hutan dan lahan serta penegakan hukum”.
Kecenderungan kejadian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) selalu berulang tiap tahun, dan dalam satu tahun terjadi dua puncak karhutla yaitu Maret-April (periode I) dan Juli-Agustus (periode II). Karhutla periode I pada tahun 2014 terjadi lebih awal yaitu Februari. Kejadian karhutla tersebut perlu menjadi rujukan untuk menghadapi periode II.
Dalam kaitan tersebut, maka perlu disusun rencana operasionalisasi pencegahan yang mampu mengurangi resiko karhutla periode II, dengan tetap mengacu kepada beberapa peraturan yang tersedia seperti Inpres No 16 tahun 2011 tentang peningkatan Pengendalian Kebakaran hutan dan Lahan. Dalam Inpres tersebut terdapat beberapa instruksi kepada KLH antara lain meningkatkan kuantitas dan kualitas SDM dalam Pengendalian Kebakaran Hutan dan lahan serta meningkatkan kinerja PPNS akibat kebakaran hutan dan lahan.
Keberhasilan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan merupakan  implementasi di lapangan yang konsisten  dari hasil kerja sama pemerintah daerah, pemerintah pusat, pengusaha dan masyarakat yang dituangkan  dalam suatu rencana aksi.

Menetapkan Kebijakan
Peraturan dan perundangan yang berkaitan dengan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan diatur dalam UU No. 5 tahun1990, UU No. 5 tahun 1994, UU No. 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999 dan PP No. 4 tahun 2001. Langkah-langkah dan upaya-upaya dalam rangka penanggulangan kebakaran kebakaran hutan dan lahan terdiri dari:
1.      Pemasyarakatan tindakan pencegahan dan penanggulangan(pemadaman) melalui kegiatan penyuluhan yang terkoordinasi seperti penggunaan media cetak, elektronik dan sebagainya;
2.      Pelarangan kegiatan pembakaran dan pemasyarakatan kebijakan penyiapan lahan tanpa bakar (PLTB);
3.      Peningkatan keterampilan dan kemampuan sumber daya manusia baik yang berasal dari instansi pemerintah maupun perusahaan;
4.      Pemenuhan dan pengadaan peralatan pemadaman kebakaran sesuai dengan standar yang ditetapkan;
5.      Melakukan kerjasama teknik dengan negara-negara donor;
6.      Peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan;
7.      Menindak tegas setiap pelanggar hukum/peraturan yang telah ditetapkan;
8.      Peningkatan upaya penegakkan hukum.

Tanggung Jawab Terhadap Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
Kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan asap menyakitkan bagi makhluk hidup merupakan tanggung jawab kita bersama. Berdasarkan UU No. 41 tahun 1999 dan PP No. 4 tahun 2001, kebakaran hutan dan lahan di seluruh Indonesia merupakan tugas dan tanggung jawab setiap warga, dunia usaha, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan pemerintah pusat.
          Setiap orang berkewajiban mencegah kebakaran hutan dan lahan;
          Pemerintah bertanggung jawab terhadap pengendalian kebakaran hutan di hutan Negara;
          Penanggung jawab usaha (perorangan, badan usaha milik swasta/ Negara/daerah, koperasi, yayasan) bertanggung jawab terhadap pengendalian kebakaran di lokasi usahanya;
          Pengendalian hutan pada hutan hak dilakukan oleh pemegang hak.
           
Surat edaran dari Polresta Palangka Raya Nomor : SE/101/IX/2013 memuat bahwa membakar hutan tanpa ijin, diancam pidana penjara 15 tahun dan denda Rp 5 Miliar dengan Pasal 78 ayat (3) huruf d, Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009.
“Hal ini bisa kita lihat pada Peraturan Daerah (Perda) Kota Palangka Raya Nomor 7 Tahun 2003, dimana barang siapa yang membakar lahan dan hutan akan tersangkut Pasal 21 dengan diancam pidana kurungan enam bulan atau denda maksimal Rp 5 Juta,”
Sanksi dan Denda Penyebab Kebakaran Hutan
Tindakan hukum bagi para penyebab kebakaran secara tegas telah diatur dalam UU No. 41 tahun 1999 dalam pasal 78 ayat 3, 4 dan 11, yaitu :
          Sengaja membakar hutan : Pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak 5 milyar rupiah.
          Kelalaian sehingga menyebabkan kebakaran hutan : Pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak 1,5 milyar rupiah.
          Membuang benda yang dapat menyebabkan kebakaran hutan : Pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak 1 milyar rupiah.
 




















Membentuk Lembaga-lembaga / Instansi Terkait Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan
Instansi-instansi pemerintah yang terkait dengan kegiatan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (PPKHL), yaitu :
          Sektor Kehutanan, yaitu: Departemen Kehutanan;
          Sektor Pertanian, yaitu : Departemen Pertanian;
          Sektor Lingkungan, yaitu : Kementerian Negara Lingkungan Hidup;
          Sektor Manajemen Bencana, yaitu : Bakornas PBP;
          Sektor Lain, yaitu: Departemen Dalam Negeri, BMG, LAPAN, BPPT.

Sektor Kehutanan
Sebagian besar kebakaran yang terjadi di kawasan hutan dan lahan berkaitan dengan kegiatan pengusahaan hutan, pemanfaatan lahan oleh masyarakat dan kegiatan konversi lahan lainnya.
Departemen Kehutanan
Masalah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia menjadi semakin penting sejak terjadinya kebakaran 1997/1998. Di tingkat Nasional, bagian/unit Departemen Kehutanan yang menangani masalah kebakaran telah mengalam beberapa perubahan seiring dengan meningkatnya ancaman dan peristiwa kebakaran. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) merupakan unit Departemen Kehutanan yang mempunyai wewenang dalam menangani masalah kebakaran hutan, unit ini bertanggung jawab langsung pada Menteri Kehutanan dan mempunyai direktorat khusus yang menangani masalah kebakaran hutan, yaitu Direktorat Penanggulangan Kebakaran Hutan. Direktorat ini mempunyai 4 subdirektorat, yaitu: Sub Direktorat Pengembangan Sistem Pengendalian Kebakaran, Sub Direktorat Deteksi dan Evaluasi, Sub Direktorat Pencegahanndan Pemadaman dan Sub Direktorat Dampak Kebakaran. Di tingkat daerah, tanggung jawab masalah kebakaran secara teknis umumnya ditangani oleh Dinas Kehutanan tingkat Propinsi dan Kabupaten.

Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan Nasional (PUSDALKARHUTNAS)
PUSDALKARHUTNAS merupakan organisasi non struktural yang dibentuk oleh Departemen Kehutanan untuk menangani secara khusus masalah kebakaran. Melalui organisasi ini, diharapkan masalah kebakaran hutan dapat ditangani secara komprehensif dan memudahkan koordinasi resmi antar seksi di Departemen dan diantara lembaga terkait di tingkat propinsi dan kabupaten di seluruh Indonesia. PUSDALKARHUTNAS dikepalai oleh DIRJEN PHKA dan beranggotakan Sekretaris Jenderal dan seluruh DIRJEN lainnya di dalam Departemen Kehutanan, Dewan Direksi BUMN Kehutanan, Staf Ahli Menteri VI dan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI). Adapun fungsi dan tugas utama dari PUSDALKARHUTNAS, yaitu:
          Merumuskan dan memberikan arahan kebijakan operasional usahausaha pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan;
          Mengkoordinasikan upaya-upaya pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan secara terintegrasi di tingkat nasional;
          Mengawasi pelaksanaan program-program dalam kerangka kerja kebijakan operasional yang ditetapkan Menteri;
          Merencanakan cara dan peralatan yang diperlukan untuk mengendalikan kebakaran hutan.

Fungsi dan tugas utama PUSDALKARHUTLA yaitu melakukan koordinasi dengan Satkorlak Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (PBP) dan menetapkan kebijakan serta langkah-langkah yang akan diambil dalam rangka operasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Sedangkan fungsi dan tugas utama POSKOLAKDALKARHUTLA adalah menyusun rencana kegiatan operasi, menyelenggarakan koordinasi horisontal dan vertikal, memegang komando operasi lapangan dan membuat laporan pelaksanaan operasi. Kemudian SATLAKDALKARHUTLA bertugas melaksanakan operasi pengendalian kebakaran, membuat laporan operasi dan menggerakkan tenaga bantuan masyarakat.

Sektor Pertanian
Di tingkat Nasional, bagian/unit Departemen Pertanian yang bertanggung jawab dalam menangani masalah kebakaran yang terjadi di lahan adalah Direktorat Perlindungan Perkebunan. Direktorat ini bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Di dalam direktorat ini belum ada divisi khusus yang bertanggung jawab dalam hal penanganan kebakaran yang terjadi di perkebunan atau lahan pertanian lainnya.

Sektor Lingkungan
Terjadinya kebakaran hutan dan lahan berakibat pada turunnya kondisi lingkungan. Pengelolaan lingkungan di Indonesia menjadi tanggung jawab Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Dalam rangka meningkatkan keefektifan dan fungsi kegiatan pengawasan dan pengendalian lingkungan maka dibentuklah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) dibawah koordinasi Kementerian Negara lingkungan Hidup dan bertanggungjawab langsung pada Presiden. Bapedal tidak mempunyai unit atau bagian khusus yang menangani masalah kebakaran hutan dan lahan.
Sehingga pada tahun 1995 dibentuklah lembaga non struktural Tim Koordinasi Nasional Kebakaran Lahan (TKNKL) yang terfokus pada manajemen kebakaran lahan. TKNKL dikepalai oleh Dirjen PHPA. Terjadinya kebakaran hebat tahun 1997 mendasari dikeluarkannya Keputusan No.40/MenLH/1997  tentang pembentukan Tim Koordinasi Nasional Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (TKNPKHL) dimana ruang lingkupnya lebih luas dan mempunyai wewenang yang lebih kuat. TKNPKHL dibawah pimpinan Menteri Negara Lingkungan hidup dan sebagai ketua pelaksana adalah Dirjen PHKA.

Sektor Manajemen Bencana
Badan koordinasi nasional penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi (Bakornas PBP) merupakan badan koordinasi non structural dan hanya berfungsi apabila aksi multi-sektoral diperlukan selama terjadinya bencana, misalnya bencana kebakaran hutan dan lahan. Badan ini dikepalai oleh Wakil Presiden RI dan anggotanya terdiri dari 9 orang Menteri, Pimpinan TNI dan Kepolisian, serta para Gubernur dari propinsi yang terkena bencana.

Sektor Lain
Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), LAPAN, BPPT, Departemen Transmigrasi, Badan SAR Nasional, Kepolisian, TNI merupakan instansi instansi terkait lainnya yang ikut bertangung jawab dalam manajemen pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Data dan informasi tentang keadaan lingkungan, hotspot (titik panas) yang dihasilkan oleh LAPAN sangat diperlukan dalam upaya pencegahan terutama dalam kegiatan peringatan dini terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Selain pada saat pencegahan, instansi instansi tersebut diatas juga ikut terlibat dalam upaya
pemadaman dan penanganan paska kebakaran.

B.       Peranan Masyarakat Terhadap Kelestarian Hutan dan Reboisasi Penanggulanagn Bencana Kebakaran Hutan
Selain pemerintah, masyarakat juga harus berperan aktif dalam melakukan pelestarian dan penghijauan hutan kembali (reboisasi). Tanpa peran serta dan dukungan masyarakat maka kelestarian hutan juga tidak dapat dikendalikan. Berikut ini beberapa peran serta masyarakat yang cukup penting dalam pelestarian hutan di indonesia:
-Menanamkan Kesadaran Pentingnya Hutan
Seperti yang telah diuraikan diatas. Maka hutan sebagai paru-paru dunia dan bumi ini bergantung pada hutan sebagai penjaga suhu bumi agar tetap stabil (global warming). Dimana jika hutan ini habis maka suhu bumi tidak stabil sehingga kerusaka ekosistem yang lain akan susul-menyusul.
Masyarakat harus tahu hal itu dan sejak dini anak-anak dan remaja harus didik untuk sadar lingkungan dan kelestarian hutan. Orang tua dan guru harus terus mengkampanyekan pentingnya hutan agar tertanam dalam bawah sadar mereka bahwa kerusakan hutan akan juga merusak kelangsungan hidup manusia.
Jika kesadaran itu sudah tumbuh maka, masyarakat akan saling bekerja sama menjaga kelestarian hutan dan segera melapor atau mencegah dengan sendirinya jika ada orang-orang yang hendak merusak atau menebang pohon-pohon di hutan di sekitar mereka.
-Menghilangkan Kebiasaan Ladang Berpindah-Pindah
Bagi masyarakat petani harus dihindari pembukaan lahan hutan untuk pembuatan ladang yang berpindah-pindah. Ini juga penyebab kerusakan hutan yang mungkin masih sering terjadi terutama di daerah-daerah terpencil.
-Kebiasaan Menanam Pohon
Masyarakat terutama generasi muda diharapkan mempunyai kebiasaan menanam pohon dilingkungan tempat tinggalnya. Baik dipekarangan rumah atau dipinggir-pinggir jalan desa. Kebiasaan ini perlu dipupuk sejak dini. Memang sulit hal ini diterapkan didaerah perkotaan. Tapi kebiasaan ini masih bisa diterapkan di desa-desa dan digalakan untuk masyarakat desa.
-Menjaga Lingkungan Hidup, menghemat Air Bersih dan Daur Ulang
Masyarakat juga diminta untuk menjaga lingkungan tempat tinggal dengan menjaga kebersihan lingkungan. Menghemat penggunaan air bersih dan tidak mencemari sumber-sumber air bersih seperti sungai dan danau dan lain-lain. Masyarakat juga harus kreatif memanfaatkan teknologi daur ulang untuk menjadikan sampah sampah organik sebagai pupuk dan juga menggunakan kertas daur ulang untuk menghindari penggunaan kertas.



















BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1         Kesimpulan
Keberadaan hutan makin hari makin menyusut luasnya yang dikarenakan oleh beberapa sebab. Salah satunya yang dapat dikatakan paling dahsyat adalah kebakaran hutan. Kebakaran hutan dapat mengakibatkan musnahnya atau berkurangnya hutan dalam waktu yang relative singkat. Seperti halnya di wilayah lain, di Sulawesi Tengah pun pada musim kemarau terjadi kebakaran hutan, walaupun tidak sebesar seperti di Kalimantan atau di Sumatera. Kebakaran hutan terutama terjadi pada daerah-daerah yang berdekatan dengan komunitas masyarakat yang aktifitasnya berhubungan dengan hutan.
Kebakaran hutan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain sebagai berikut:
1.      Sambaran petir pada hutan yang kering karena musim kemarau yang panjang.
1.      Kecerobohan manusia antara lain membuang puntung rokok sembarangan dan lupa mematikan api di perkemahan.
2.      Aktivitas vulkanis seperti terkena aliran lahar atau awan panas dari letusan gunung berapi.
3.      Tindakan yang disengaja seperti untuk membersihkan lahan pertanian atau membuka lahan pertanian baru dan tindakan vandalisme.
4.      Kebakaran di bawah tanah/ground fire pada daerah tanah gambut yang dapat menyulut kebakaran di atas tanah pada saat musim kemarau.

Pada umumnya, penyebab utama kebakaran hutan adalah manusia, baik yang secara sengaja membersihkan lahan perkebunannya dengan menggunakan jasa api, maupun aktifitas lain yang tidak disengaja seperti pencari rotan, penebang pohon dan pengemudi angkutan kayu yang membuang puntung rokok sembarangan, api unggun dari peserta camping/wisata alam yang meninggalkan tempat perapiannya tanpa mematikan api terlebih dahulu dan lain lain. Bahaya kebakaran hutan dan lahan menimbulkan asap yang mengganggu aktifitas  kehidupan manusia, antara lain berdampak pada mewabahnya penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) dan menganggu sistem transportasi darat dan udara. Dampak yang paling besar adalah musnahnya plasma nutfah serta mengakibatkan menurunnya kualitas dan kuantitas hutan yang pada akhirnya merusak ekosistem lingkungan. Untuk mengatasi terjadi kebakaran hutan bukanlah sesuatu yang mudah, untuk itu upaya yang baik adalah melakukan antisipasi dan pencegahan kebakaran hutan, mengingat penaggulangan kebakaran hutan memerlukan dana dan tenaga yang sangat besar. Upaya pencegahan kebakaran hutan akan dapat terlaksana apabila mendapat dukungan berbagai pihak, terutama dari masyarakat desa yang berada di sekitar hutan. Untuk itu perlu dilakukan internalisasi pemahaman tentang bahaya kebakaran hutan dan keterampilan teknik pemadaman kebakaran hutan pada masyarakat. Beberapa pengetahuan dan keterampilan yang perlu disampaikan kepada masyarakat meliputi aspek-aspek sebagai berikut: (1) Kebijakan dan ketentuan tentang pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan; (2) Partisipasi masyarakat dan pengorganisasian Pemadam Kebakaran; (3) Partisipasi masyarakat dan pengorganisasian Pemadam Kebakaran; dan (4) Upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan.
Menteri Kesehatan RI, 2003 menyatakan bahwa kebakaran hutan  menimbulkan polutan udara yang dapat menyebabkan penyakit dan membahayakan kesehatan manusia. Berbagai pencemar udara yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan, misalnya : debu dengan ukuran partikel kecil (PM10 & PM2,5), gas SOx, NOx, COx, dan lain-lain dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia, antara lain infeksi saluran pernafasan, sesak nafas, iritasi kulit, iritasi mata, dan lain-lain.
Selain itu juga dapat menimbulkan gangguan jarak pandang/ penglihatan, sehingga dapat menganggu semua bentuk kegiatan di luar rumah. Gumpalan asap yang pedas akibat kebakaran yang melanda Indonesia pada tahun 1997/1998 meliputi wilayah Sumatra dan Kalimantan, juga Singapura dan sebagian dari Malaysia dan Thailand. Sekitar 75 juta orang terkena gangguan kesehatan yang disebabkan oleh asap. (Cifor,2001).
Gambut yang terbakar di Indonesia melepas karbon lebih banyak ke atmosfir daripada yang dilepaskan Amerika Serikat dalam satu tahun. Hal itu membuat Indonesia menjadi salah satu pencemar lingkungan terburuk di dunia pada periode tersebut (Applegate, G. dalam CIFOR, 2001).
Dampak kebakaran hutan 1997/98 bagi ekosistem direvisi karena perubahan perhitungan luas kebakaran yang ditemukan. Taconi, 2003 menyebutkan bahwa kebakaran yang mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi menelan biaya ekonomi sekitar 1,62-2,7 miliar dolar. Biaya akibat pencemaran kabut asap sekitar 674-799 juta dolar; biaya ini kemungkinan lebih tinggi karena perkiraan dampak ekonomi bagi kegiatan bisnis di Indonesia tidak tersedia. Valuasi biaya yang terkait dengan emisi karbon menunjukkan bahwa kemungkinan biayanyamencapai2,8 miliar dolar.
Kebakaran hutan  secara nyata berpengaruh terhadap terdegradasinya kondisi  lingkungan, kesehatan manusia dan aspek sosial ekonomi bagi masyarakat.
Terdegradasinya kondisi lingkungan
·         Perubahan kualitas fisik gambut (penurunan porositas total, penurunan kadar air tersedia, penurunan permeabilitas dan meningkatnya kerapatan lindak);
·         Perubahan kualitas kimia gambut (peningkatan pH, kandungan N-total, kandungan fosfor dan kandungan basa total yaitu Kalsium, Magnesium, Kalium, dan Natrium, tetapi terjadi penurunan kandungan C-organik);
·         Terganggunya proses dekomposisi tanah gambut karena mikroorganisme yang mati akibat kebakaran;
·         Suksesi atau perkembangan populasi dan komposisi vegetasi hutan juga akan terganggu (benih-benih vegetasi di dalam tanah gambut rusak/terbakar) sehingga akan menurunkan keanekaragaman hayati;
·         Rusaknya siklus hidrologi (menurunkan kemampuan intersepsi air hujan ke dalam tanah, mengurangi transpirasi vegetasi, menurunkan kelembaban tanah, dan meningkatkan jumlah air yang mengalir di permukaan (surface run off). Kondisi demikian menyebabkan gambut menjadi kering dan mudah terbakar, terjadinya sedimentasi dan perubahan kualitas air serta turunnya populasi dan keanekaragaman ikan di perairan. Selain itu kerusakan hidrologi di lahan gambut akan menyebabkan jangkauan intrusi air laut semakin jauh ke darat;
·         Gambut menyimpan cadangan karbon, apabila terjadi kebakaran maka akan terjadi emisi gas karbondioksida dalam jumlah besar. Sebagai gas rumah kaca, karbondioksida berdampak pada pemanasan global. Berdasarkan studi ADB, kebakaran gambut 1997 menghasilkan emisi karbon sebesar 156,3 juta ton (75% dari total emisi karbon) dan 5 juta ton partikel debu.
Kesehatan manusia
·           Ribuan penduduk dilaporkan menderita penyakit infeksi saluran pernapasan, sakit mata dan  batuk sebagai akibat dari asap kebakaran. Kebakaran gambut juga menyebabkan rusaknya kualitas air, sehingga air menjadi kurang layak untuk diminum.

Aspek sosial ekonomi
·           Hilangnya sumber mata pencaharian masyarakat yang masih menggantungkan hidupnya pada hutan (berladang, beternak, berburu/menangkap ikan);
·           Penurunan produksi kayu;
·           Terganggunya kegiatan transportasi;
·           Terjadinya protes dan tuntutan dari negara tetangga akibat dampak asap kebakaran;
·           Meningkatnya pengeluaran akibat biaya untuk pemadaman.
Dari dampak yang terjadi tersebut, adapun upaya untuk menangani kebakaran hutan ada dua macam, yaitu penanganan yang bersifat represif dan penanganan yang bersifat preventif. Penanganan kebakaran hutan yang bersifat represif adalah upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk mengatasi kebakaran hutan setelah kebakaran hutan itu terjadi. Penanganan jenis ini, contohnya adalah pemadaman, proses peradilan bagi pihak-pihak yang diduga terkait dengan kebakaran hutan (secara sengaja), dan lain-lain.
Sementara itu, penanganan yang bersifat preventif adalah setiap usaha, tindakan atau kegiatan yang dilakukan dalam rangka menghindarkan atau mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan. Jadi penanganan yang bersifat preventif ini ada dan dilaksanakan sebelum kebakaran terjadi. Selama ini, penanganan yang dilakukan pemerintah dalam kasus kebakaran hutan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja, lebih banyak didominasi oleh penanganan yang sifatnya represif. Berdasarkan data yang ada, penanganan yang sifatnya represif ini tidak efektif dalam mengatasi kebakaran hutan..
Hal ini terbukti dari pembakaran hutan yang terjadi secara terus menerus. Sebagai contoh : pada bulan Juli 1997 terjadi kasus kebakaran hutan. Upaya pemadaman sudah dijalankan, namun karena banyaknya kendala, penanganan menjadi lambat dan efek yang muncul (seperti : kabut asap) sudah sampai ke Singapura dan Malaysia. Sejumlah pihak didakwa sebagai pelaku telah diproses, meskipun hukuman yang dijatuhkan tidak membuat mereka jera. Ketidakefektifan penanganan ini juga terlihat dari masih terus terjadinya kebakaran di hutan Indonesia, bahkan pada tahun 2008 ini.
Oleh karena itu, berbagai ketidakefektifan perlu dikaji ulang sehingga bisa menghasilkan upaya pengendalian kebakaran hutan yang efektif.
Menurut UU No 45 Tahun 2004, pencegahan kebakaran hutan perlu dilakukan secara terpadu dari tingkat pusat, provinsi, daerah, sampai unit kesatuan pengelolaan hutan. Ada kesamaan bentuk pencegahan yang dilakukan diberbagai tingkat itu, yaitu penanggungjawab di setiap tingkat harus mengupayakan terbentuknya fungsi-fungsi berikut ini :
1.        Mapping : pembuatan peta kerawanan hutan di wilayah teritorialnya masing-masing. Fungsi ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, namun yang lazim digunakan adalah 3 cara berikut:
·         pemetaan daerah rawan yang dibuat berdasarkan hasil olah data dari masa lalu
maupun hasil prediksi.
·         pemetaan daerah rawan yang dibuat seiring dengan adanya survai desa (Partisipatory Rural Appraisal)
·         pemetaan daerah rawan dengan menggunakan Global Positioning System atau citra satelit
2.        Informasi : penyediaan sistem informasi kebakaran hutan.
Hal ini bisa dilakukan dengan pembuatan sistem deteksi dini (early warning system) di setiap tingkat. Deteksi dini dapat dilaksanakan dengan 2 cara berikut :
o   analisis kondisi ekologis, sosial, dan ekonomi suatu wilayah
o   pengolahan data hasil pengintaian petugas
3.        Sosialisasi : pengadaan penyuluhan, pembinaan dan pelatihan kepada masyarakat.
Penyuluhan dimaksudkan agar menginformasikan kepada masyarakat di setiap wilayah mengenai bahaya dan dampak, serta peran aktivitas manusia yang
seringkali memicu dan menyebabkan kebakaran hutan. Penyuluhan juga bisa menginformasikan kepada masayarakat mengenai daerah mana saja yang rawan terhadap kebakaran dan upaya pencegahannya.
Pembinaan  merupakan kegiatan yang mengajak masyarakat untuk dapat meminimalkan intensitas terjadinya kebakaran hutan.
Sementara, pelatihan bertujuan untuk mempersiapkan masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar wilayah rawan kebakaran hutan,untuk melakukan tindakan awal dalam merespon kebakaran hutan.
4.        Standardisasi : pembuatan dan penggunaan SOP (Standard Operating Procedure).
Untuk memudahkan tercapainya pelaksanaan program pencegahan kebakaran hutan maupun efektivitas dalam penanganan kebakaran hutan, diperlukan standar yang baku dalam berbagai hal berikut :
·         Metode pelaporan
Untuk menjamin adanya konsistensi dan keberlanjutan data yang masuk, khususnya data yang berkaitan dengan kebakaran hutan, harus diterapkan sistem pelaporan yang sederhana dan mudah dimengerti masyarakat. Ketika data yang masuk sudah lancar, diperlukan analisis yang tepat sehingga bisa dijadikan sebuah dasar untuk kebijakan yang tepat.
·         Peralatan
Standar minimal peralatan yang harus dimiliki oleh setiap daerah harus bisa diterapkan oleh pemerintah, meskipun standar ini bisa disesuaikan kembali sehubungan dengan potensi terjadinya kebakaran hutan, fasilitas pendukung, dan sumber daya manusia yang tersedia di daerah.
·         Metode Pelatihan untuk Penanganan Kebakaran Hutan
Standardisasi ini perlu dilakukan untuk membentuk petugas penanganan kebakaran yang efisien dan efektif dalam mencegah maupun menangani kebakaran hutan yang terjadi. Adanya standardisasi ini akan memudahkan petugas penanganan kebakaran untuk segera mengambil inisiatif yang tepat dan jelas ketika terjadi kasus kebakaran hutan
5.              Supervisi : pemantauan dan pengawasan kepada pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan hutan. Pemantauan adalah kegiatan untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya perusakan lingkungan, sedangkan pengawasan adalah tindak lanjut dari hasil analisis pemantauan. Jadi, pemantauan berkaitan langsung dengan penyediaan data,kemudian pengawasan merupakan respon dari hasil olah data tersebut. Pemantauan, menurut kementerian lingkungan hidup, dibagi menjadi empat, yaitu :
·         Pemantauan terbuka : Pemantauan dengan cara mengamati langsung objek yang diamati. Contoh : patroli hutan
·         Pemantauan tertutup (intelejen) : Pemantauan yang dilakukan dengan cara penyelidikan yang hanya diketahui oleh aparat tertentu.
·         Pemantauan pasif : Pemantauan yang dilakukan berdasarkan dokumen, laporan, dan keterangan dari data-data sekunder, termasuk laporan pemantauan tertutup.
·         Pemantauan aktif : Pemantauan dengan cara memeriksa langsung dan menghimpun data di lapangan secara primer. Contohnya : melakukan survei ke daerah-daerah rawan kebakaran hutan. Sedangkan, pengawasan dapat dilihat melalui 2 pendekatan, yaitu :
Preventif : kegiatan pengawasan untuk pencegahan sebelum terjadinya perusakan lingkungan (pembakaran hutan). Contohnya : pengawasan untuk menentukan status ketika akan terjadi kebakaran hutan
Represif : kegiatan pengawasan yang bertujuan untuk menanggulangi perusakan yang sedang terjadi atau telah terjadi serta akibat-akibatnya sesudah terjadinya kerusakan lingkungan.
Untuk mendukung keberhasilan, upaya pencegahan yang sudah dikemukakan diatas, diperlukan berbagai pengembangan fasilitas pendukung yang meliputi :
1.      Pengembangan dan sosialisasi hasil pemetaan kawasan rawan kebakaran hutan
Hasil pemetaan sebisa mungkin dibuat sampai sedetail mungkin dan disebarkan pada berbagai instansi terkait sehingga bisa digunakan sebagai pedoman kegiatan institusi yang berkepentingan di setiap unit kawasan atau daerah.
2.      Pengembangan organisasi penyelenggara Pencegahan Kebakaran Hutan
Pencegahan Kebakaran Hutan perlu dilakukan secara terpadu antar sektor, tingkatan dan daerah. Peran serta masyarakat menjadi kunci dari keberhasilan upaya pencegahan ini. Sementara itu, aparatur pemerintah, militer dan kepolisian, serta kalangan swasta perlu menyediakan fasilitas yang memadai untuk memungkinkan terselenggaranya Pencegahan Kebakaran Hutan secara efisien dan efektif.
3.      Pengembangan sistem komunikasi
Sistem komunikasi perlu dikembangkan seoptimal mungkin sehingga koordinasi antar tingkatan (daerah sampai pusat) maupun antar daerah bisa berjalan cepat. Hal ini akan mendukung kelancaran early warning system, transfer data, dan sosialisasi kebijakan yangberkaitan dengan kebakaran hutan
Meskipun kebijakan mengenai pengendalian kebakaran hutan dan lahan telah banyaktersedia dan rinci, tetapi dapat dikatakan bahwa peraturan-peraturan tersebut masih kurang memadai dan bersifat sektoral. Peraturan tentang pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang ada pada umumnya dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan dimana kekuatan hukumnya relatif lemah, karena hanya dapat berlaku dalam wilayah kerja Departemen Kehutanan saja, sementara kebakaran tidak hanya terjadi di hutan tetapi juga di lahan. Bahkan di beberapa daerah, kebakaran cenderung diakibatkan oleh adanya penggunaan api dalam kegiatan sektor pertanian termasuk di dalamnya yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan dan belakangan ini, bahkan mulai marak dilakukan dalam kegiatan pertambangan
1.      Secara mendasar perambahan hutan menyeybabkan ketidak seimbangan alam (kerusanan hutan) menyebabkan terjadinya kebakaran pada lahan gambut dan bukan gambut. Disusul oleh perkembangan pengelolaan lahan yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip konesrvasi dan dorongan ekonomi juga memperparah terjadinya kebakaran lahan danhutan.
2.      Setiap upaya peningkatan pemanfaatan lahan untuk keperluan pemenuhan kebutuhan pangan (seperti pemanfaatan ex-lahan gambut) hendaknya difikirkan aspek konservasi yang tidak menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan, sehingga koordinasi vertikal dan horizontal menjadi sangat penting adanya
            Provinsi Kalimantan Tengah telah memiliki Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2003 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan atau Lahan, yang melarang adanya pembakaran hutan dan atau lahan, serta ketentuan mengenai pengendalian kebakaran. Peraturan Daerah ini juga mengatur mengenai peningkatan kesadaran masyarakat. Pasal 23 ayat 1 menyebutkan Gubernur/Bupati/Walikota meningkatkan kesadaran masyarakat termasuk aparatur akan hak dan tanggungjawab serta kemampuannya untuk mencegah kebakaran hutan dan atau lahan. Sedangkan ayat 2 menyebutkan, peningkatan kesadaran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan mengembangkan nilai-nilai dan kelembagaan adat serta kebiasaan-kebiasaan masyarakat tradisional yang mendukung perlindungan hutan dan atau lahan. Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2003 ini kemudian diatur secara teknis melalui Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah No. 78 Tahun 2005 tentang Petunjuk Teknis Pengendalian Kebakaran Hutan dan atau Lahan di Provinsi Kalimantan Tengah. Selain itu, diterbitkannya Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah tentang Pembentukan Pos Simpul Kendali Operasi (Posko)
            Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan yang diperbaharui tiap tahun. Masyarakat Dayak sesungguhnya memiliki tradisi yang kuat dalam hal pemeliharaan lingkungan dan penanggulangan kebakaran. Falsafah hidup masyarakat Dayak yang bersumber dari simbol Batang Garing, yang diwujudkan dalam upacara adat manyanggar dan memapas lewu merupakan kearifan lokal dengan prinsip memelihara keseimbangan hubungan antar manusia; hubungan manusia dengan alam semesta dan hubungan dengan Sang Pencipta. Wujud kearifan lokal ini dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, yang sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Dalam kehidupan masyarakat Dayak, hutan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, tetapi juga untuk memenuhi fungsi ritual. Terganggunya fungsi hutan dalam kehidupan masyarakat ini, akan mendorong munculnya konflik sosial. Terkait pemeliharaan lingkungan dan penanggulangan kebakaran, masyarakat Dayak memiliki tradisi dan hukum adat yang mengatur mengenai tata cara membuka lahan, yang jika menimbulkan kebakaran secara tidak terkendali akan mendapat denda adat. Tradisi dan hukum adat ini juga mengatur mengenai cara-cara melakukan pembersihan lahan untuk mengatasi kebakaran secara terkendali. Sejalan dengan perkembangan zaman, di mana makin banyak perusahaan yang membuka lahan untuk perkebunan dan pertambangan, serta meluasnya wilayah pengembangan pertanian dan perkebunan oleh penduduk, mendorong terjadinya peningkatan kebakaran hutan dan lahan. Pada saat yang bersamaan, budaya dan tradisi masyarakat tidak dapat lagi secara efektif menanggulangi kebakaran hutan dan lahan yang berlangsung dalam skala yang sangat luas. Upaya-upaya untuk menanggulangi kebakaran ini dengan demikian menjadi penting untuk terus dikembangkan, melalui penguatan kembali tradisi masyarakat dan pendekatan-pendekatan modern untuk menanggulangi kebakaran. Pelibatan masyarakat merupakan faktor kunci, karena mereka tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan dan lahan gambut yang secara cepat mendeteksi adanya potensi kebakaran, serta secara cepat dapat menanggulangi kebakaran. Partisipasi masyarakat ini sekaligus membangun kesadaran untuk menghindari pola pembukaan/pembersihan lahan dengan cara membakar .Masyarakat juga didorong untuk berpartisipasi dalam mengawasi lingkungan sekitar mereka guna menghindari kegiatan-kegiatan yang melawan hukum, yaitu kegiatan pembukaan lahan dengan cara membakar baik oleh perorangan nmaupun perusahaan.



3.2              Saran
1.        Perlu adanya kemauan politik (political will), seperti melakukan investasi berupa  penelitian untuk mencari inovasi baru (teknologi tepat guna) yang dapat digunakan untuk memberikan alternatif tidak membakar kebun/semak, seperti teknologi Tanpa Olah Tanah (TOT) berikut alat-alat pendukungnya, teknologi pembusukan (decomposed), teknologi pemanfaatan lahan gambut sebagai media tanaman, dll untuk meningkatkan efisiensi dan nilai tambah produk pertanian.
2.        Perlu ada deregulasi dan sinkronisasi peraturan-peraturan yang ada, untuk menghindari terjadinya saling melempar tanggungjawab, khususnya status hukum kepemilikan lahan dan penggarapan lahan. Perlu ada law enforcement secara tegas dan konsekuen terhadap para pelaku dan pihak yang menyebabkan terjadinya kebakaran, termasuk pencegahan timbulnya biaya transaksi (transaction cost) yang dapat menyebabkan semakin leluasanya pihak  tertentu melakukan pembakaran.
3.        Perlu difikirkan adanya instrumen kebijakan berbasis ekonomi (economic-based policies) seperti: (a) memberikan insentif kepada sekelompok atau seseorang yang mempu menjaga kawasannya dari kebakaran dan memberikan disinsentif kepada yang tidak mampu menjaga kawasannya dari kebakaran, (b) menciptakan program-program yang dapat menghambat dilakukannya pembakaran hutan dan lahan dan menyebarluaskan kepada masyarakat, seperti mengedepankan upaya pencegahan pembakaran dengan kredit usahatani atau kredit ketahanan pangan (KKP), kredit P4K atau kegiatan program PRIMATANI.